Sense of belonging atau rasa memiliki yang dimaksud bersifat aktif. Diwujudkan dalam bentuk inisiatif, keberanian mengambil tanggung jawab dan risiko, serta keinginan berbagi. Sense of belonging juga mengubah bentuk keterikatan orang dengan organisasi, dari sekadar yang bernuansa bisnis dan transaksional menjadi semacam keterikatan batin. Dengan sense of belonging inilah, kata Budi Antono, Corporate Organization Development Manager, pada talkshow di Suara Surabaya (07/02), seseorang akan senantiasa memberikan yang terbaik untuk organisasi atau perusahaannya.
Karena berbicara sense, hubungan eratnya dengan batin. Mungkin organisasi atau perusahaan secara fisik dianggap tak bernyawa, tapi sebenarnya di dalamnya ada nyawanya, ada pimpinan, visi-misi, manajer, dan karyawan. Tantangannya, bagaimana membuat mereka feel at home, dalam pengertian bukan nyaman dan santai di rumah. Bukankah kini banyak keluarga modern tidak ada pembantu, sehingga penghuni rumah harus bersih-bersih rumah hingga ngosek wc sendiri. Inilah yang harus disadari perusahaan; harus memancing dan memicu sense ini. Layaknya sebuah rumah tangga, tidak bisa hanya sebagian yang punya sense of belonging, tapi harus mutual atau saling memiliki.
Siapa yang paling berada di garis depan untuk hal ini? Tentu para pimpinannya yang harus memulai. Owner, direktur, para manajer harus berusaha menumbuhkan sense of belonging dengan jalan mempertajam visi-misi dan nilai-nilai di perusahaan tersebut. Yang demikian itu kemudian harus terkomunikasikan hingga menyentuh semua level di organisasi atau perusahaan. Secara absolut, bila ingin profesional, semua elemen dalam organisasi/perusahaan itu harus memiliki sense of belonging. Bila semua lapisan sudah tercipta rasa memiliki yang sama, tugas para manajer pun akan menjadi lebih ringan sekaligus strategis.
Ada perusahaan yang juga menerapkan management of conflict demi untuk menghindari comfort zone atau zona nyaman. Tapi hendaknya berhati-hati, manajemen konflik bisa menjadi api dalam sekam. Kalau tidak terkontrol, bukan persaingan sehat yang didapat, bahkan ‘rumah’ pun akan ikut ludes. Kebanyakan yang terjadi, perusahaan yang menerapkan manajemen konflik tidak tahu bagaimana mengontrol dan menyetop. Bisa ngegas, tapi tidak bisa mengerem. Akhirnya terjadi crash.
Hal penting yang harus dipahami oleh para pengusaha kalau menerapkan manajemen konflik, syaratnya sistem yang dipunyai harus implemented. Sistem ini berfungsi sebagai rem. Manajemen konflik dipakai biasanya untuk segera mendapatkan hasil. Hampir sama dengan orang pergi ke gym, ingin membentuk badannya dalam waktu sebulan, latihannya seminggu sekali, dalam tiga jam ngobrolnya dua jam, akhirnya dia memakai doping. Memang ada hasilnya. Tapi begitu stop dopingnya, akan kembali jelek. Dan tidak ada program long term.
Cara menggerakkan bisnis dengan pendekatan kekeluargaan juga mungkin bisa digunakan. Tapi seiring berkembangnya usaha, harus diciptakan sistem yang bisa membawa kapal bisnis terkelola dalam jangka panjang ke depan. Bukankah semua usaha dimulai dari kecil terlebih dahulu?
Semua perusahaan harus berevolusi apa yang kurang dalam perjalanan. Perusahaan harus investing on people. Karena, yang menjalankan semuanya adalah orang. Tubuh orang dikendalikan oleh otak. Tapi otak dikendalikan oleh hati. Badannya segar otaknya cemerlang tapi di kantor ada konflik sehingga hatinya merasa tidak nyaman, tidak akan bisa maksimal. Bahkan mau berangkat ke kantor saja sudah malas. Sebenarnya yang membuat malas ke kantor bukan otaknya, tapi lebih karena olahrasa hatinya yang tidak nyaman.
Tidak bisa dibayangkan bila karyawan sudah tidak lagi memiliki sense of belonging, perusahaan akan disorganize, morat-marit, chaos, dan ujung-ujungnya akan bangkrut. Mungkin benar karyawan tetap melakukan pekerjaannya, tanggung jawab job disnya, tapi tidak disertai keterlibatan rasa dan hati yang nyaman. Hasil pekerjaannya akan artifisial. Bukan karena si karyawan sengaja untuk tidak maksimal, tapi karena faktor hatinya yang tidak terbangun sense of belongingnya. Dan itu berarti kegagalan sang bos, yang tidak mampu membangun rasa memiliki si anak buah, sekaligus kegagalan sang bos dalam memahami dan melaksanakan visi-misi perusahaan.