Senin, 29 Juni 2015

KEKUATAN SABAR DAN SHOLAT DALAM MENYELESAIKAN PROBLEMATIKA KEHIDUPAN

Suhedriandi

Pengaruh Sabar dan Sholat Dalam Menyelesaikan Problematika Kehidupan

 

وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

”Dan mintalah pertolongan (kepada) Allah dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhhya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang  khusu , (yaitu) orang-orang yang menyakini, bahwa mereka akan menemui Robb-nya dan bahwa mereka akan kembali kepad-Nya” (Qs. al-Baqarah : 45 -46)

Ayat di atas mengandung beberapa pelajaran :

Pelajaran Pertama :

Bahwa Allah memerintahkan seluruh hamba-Nya untuk selalu bersabar dan menegakkan sholat di dalam menghadapi segala problematika hidup.

Adapun sabar secara bahasa adalah menahan, dikatakan : ”qutila fulanun shobron“ artinya : si fulan terbunuh dalam keadan ditahan. Oleh karenanya, seseorang yang menahan diri terhadap sesuatu dikatakan orang yang sabar.

Pelajaran Kedua :

Sabar dibagi menjadi beberapa macam  :

Pertama : Sabar di dalam ketaatan, yaitu menata diri untuk selalu mengerjakan perintah-perintah Allah dan Rosul-Nya. Sabar di dalam ketaatan ini adalah tingkatan sabar yang paling tinggi, kenapa? karena untuk melakukan suatu ketaatan, diperlukan kemauan yang sangat kuat, dan untuk menuju pintu Syurga seseorang harus mampu melewati jalan-jalan yang dipenuhi dengan duri, ranjau dan segala sesuatu yang biasanya dia benci dan tidak dia sukai, sebagaimana sabda Rosulullah Shalallahu a’laihi wasallam

وَحَفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ

”Dan jalan menuju syurga itu dipenuhi dengan sesuatu yang tidak kita senangi” (HR. Muslim)

Sabar dalam ketaatan ini harus melalui tiga fase :

Fase Pertama : Sabar sebelum beramal. Ini meliputi perbaikan niat, yaitu mengikhlaskan amal hanya karena Allah subhanahu wata’ala, dan bertekad untuk mengerjakan ibadat tersebut sesuai dengan aturannya. Dalam hal ini Allah berfirman :

إِلاَّ الَّذِينَ صَبَرُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ أُوْلَـئِكَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ

”Kecuali orang-orang yang bersabar dan beramal sholeh.” (Qs. Hud :11)

Fase Kedua : Sabar ketika beramal, yaitu dengan selalu mengingat Allah subhanahu wata’ala selama beramal, dan tidak malas untuk mengerjakan seluruh rukun, kewajiban dan sunah dari amal tersebut. Kalau sedang mengerjakan puasa umpamanya, maka dia harus tetap mengingat bahwa dirinya sedang puasa dan Allah selalu melihat seluruh amalannya, maka dia berusaha untuk menghindari hal-hal yang dilarang oleh Allah selama berpuasa dan berusaha untuk mengerjakan amalan sunah dan wajib, seperti membantu fakir miskin, memberikan ifthor kepada yang berpuasa, sholat berjama’ah dan sebagainya.

Fase ketiga : Sabar setelah beramal, yaitu dengan menahan diri untuk tidak mepublikasikan amalnya kepada orang lain, dan menjauhi diri dari riya’ dan hal-hal yang bisa menghapus amal perbuatannya. Dalam  bersedekah umpamanya, maka setelah bersedekah, dia harus menahan diri untuk tidak menyebut-nyebut sedekahnya dan harus menahan diri  tidak menyakiti perasaan penerima sedekah. Allah subahanahu wata’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى

”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasan penerima” (Qs. Al Baqarah : 264)

Kedua : Sabar terhadap maksiat, yaitu selalu menahan diri untuk selalu menjauhi apa-apa yang dilarang oleh Allah dan Rosul-Nya. Bentuk sabar ini jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan bentuk sabar yang pertama, karena meninggalkan sesuatu yang dilarang jauh lebih ringan daripada mengerjakan sesuatu yang diperintah. Walaupun sebenarnya dalam masalah ini, kadang sifatnya sangat relatif, artinya bagi seseorang mungkin lebih ringan meninggalkan sesuatu yang dilarang daripada mengerjakan sesuatu yang diperintah, sementara bagi orang lain justru yang terjadi adalah sebaliknya, dia merasa lebih ringan mengerjakan sesuatu yang diperintahkan kepadanya daripada meninggalkan sesuatu yang dilarang. Inipun tergantung kepada bentuk larangan dan perintah. Umpamanya kebanyakan orang bisa bersabar untuk tidak berzina, akan tetapi tidak bisa bersabar untuk selalu mengerjakan sholat berjama’ah di masjid. Sebaliknya kebanyakan orang sangat sulit dan tidak bisa bersabar untuk meninggalkan ”ghibah” (membicarakan kejelekan orang lain), akan tetapi sangat bisa dan sabar kalau diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang lain. Contoh-contoh seperti ini sangat banyak dalam  kehidupan sehari-hari.

Ketiga : Sabar terhadap musibah, yaitu menahan diri dan tidak mengeluh ketika terkena musibah. Ini adalah bentuk sabar yang paling ringan, karena sesuatu itu sudah terjadi di depannya, dan dia tidak bisa menghindarinya, artinya dia bersabar atau tidak bersabar sesuatu itu sudah terjadi. Akan tetapi walaupun begitu, masih banyak dari kaum muslimin yang tidak bisa sabar ketika tertimpa musibah. Sabar dalam bentuk ini tersebut dalam firman Allah subhanahu wata’ala :

وَلَنَبلُوَنّكُم بِشَىءٍ مِنَ الخَوفِ وَالجُوعِ وَنَقصٍ مِنَ الأموَالِ وَالأَنفُسِ وَالثّمَراتِ وَبَشِرِ الصّابِرينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (Qs. Al Baqarah : 155)

Dalam hadist Ummu Salamah disebutkan bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِذَا أَصَابَ أَحَدُكُمْ مُصِيْبَةً فَلْيَقُلْ: إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ، اللَّهُمَّ عِنْدَكَ أَحْتَسِبُ مُصِيْبَتِيْ فَأَجِرْنِيْ فِيْهَا، وَأبْدِلْ لِي بِهَا خَيْراً مِنْهَا .

”Jika diantara kalian tertimpa musibah, hendaknya berkata : ”Sesunggunya kami milik Allah dan sesunguhnya kami akan kembali pada-Nya, Ya Allah saya hanya mencari pahala dari musibah ini di sisi-Mu, maka berikanlah kepada-ku pahala itu, dan gantikanlah aku dengan sesuatu yang lebih baik dari musibah ini”(HR. Abu Daud)

Hadist di atas benar-benar dipraktekkan oleh para sahabat, bahkan oleh Ummu Salamah sendiri, tepatnya ketika suaminya Abu Salamah pada detik-detik terakhir dari hidupnya dia berdo’a : ”Ya Allah gantilah untuk keluargaku seseorang yang lebih baik dariku” Dan ketika Abu Salamah telah meninggal dunia, Ummu Salamah berdoa’ : Sesunggunya kami milik Allah dan sesunguhnya kami akan kembali pada-Nya, Ya Allah saya hanya mencari pahala dari musibah ini di sisi-Mu.

Kemudian apa yang terjadi setelah Ummu Salamah tetap sabar, tabah dan berdo’a sebagaimana yang diajarkan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Ternyata Allah mengabulkan do’a tersebut dan Ummu Salamah mendapat ganti suami yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Pelajaran ketiga :

Sabar mempunyai tiga tingkatan :

Tingkatan Pertama : As Shobru billah, artinya : selalu meminta pertolongan dari Allah subhanahu wata’ala, dan menyakini bahwa Dialah yang memberikan kepadanya kesabaran, sehingga ketika bersabar tidaklah merasa sendirian, karena Allah selalu bersamanya. Dalam hal ini Allah berfirman :

وَاصبِر وَمَا صَبرُكَ إلا بِاللّهِ

”Dan bersabarlah , dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah” (Qs. An-Nahl : 127)

Tingkatan Kedua : As Shobru lillah, artinya bahwa yang membuatnya dia bersabar adalah kecintaannya kepada Allah subhanahu wata’ala, ikhlas mengharap ridho-Nya saja. Dia bersabar bukan karena ingin dipuji atau dilihat orang lain, tetapi dia bersabar karena Allah memerintahnya demikian.

Tingkatan Ketiga : As Shobru ma’allah, artinya : Komitmen seorang hamba untuk selalu mengikuti apa yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wata’ala, dia selalu berjalan sesuai dengan perintah-Nya. Inilah tingkatan sabar yang paling tinggi dan paling sulit. Dan inilah sabarnya orang-orang Siddiqin.

Pelajaran Keempat :

Dalam ayat di atas Allah subhanahu wata’ala, selain memerintahkan seseorang untuk bersabar di dalam menghadapi semua problematikan hidup ini, Allah subhanahu wata’ala juga memerintahkan seorang muslim untuk menegakkan sholat .

Kenapa dipilih ibadat sholat, bukan ibadat-ibadat lainnya seperti puasa, haji, zakat ataupun yang lainnya ?

Jawabannya adalah bahwa sholat mempunyai pengaruh yang luar biasa pada diri seseorang sehingga dia bisa tabah, tegar dan teguh di dalam menghadapi segala problematika hidup. Ini sesuai dengan hadist yang menyebutkan :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا حَزَبَهُ أَمَرٌ صَلَّى

”Bahwasanya Rosulullah s ketika sedang menghadapi masalah, langsung menegakkan sholat “  (HR. Abu Daud)

Begitu juga yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas radiyallahu ‘anhu, ketika dalam suatu perjalan safar diberitahu bahwa salah satu keluarga dekatnya meninggal dunia, beliau langsung mengucapkan : Innaa lillahi wa innaa ilahi roji’un, kemudian berhenti di tepi jalan dan melakukan sholat, setelah itu beiau meneruskan perjalanannya seraya membaca surat Al Baqarah, ayat 45 di atas.

Pelajaran Kelima :

Sholat dalam ayat di atas, bisa berarti do’a. Dengan demikian maka arti ayat di atas adalah : “Dan mintalah pertolongan ( kepada ) Allah dengan bersabar dan berdo’a. ” Penafsiran ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wata’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُواْ وَاذْكُرُواْ اللّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلَحُونَ

”Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung” (Qs. Al Anfal : 45)

Ayat di atas kalau kita perhatikan secara seksama kata demi katanya ternyata mirip dengan ayat 45 dalam surat Al Baqarah, bahkan sampai nomer ayatnyapun sama yaitu 45. Artinya : Allah memerintahkan orang-orang yang beriman ketika menghadapi suatu masalah – dalam hal ini ketika berhadapan dengan musuh -, agar tetap teguh dan selalu mengingat Allah swt saw banyak-banyaknya.  Teguh dalam surat Al Anfal ayat 45 sebanding dengan sabar dalam surat Al Baqarah ayat 45. Sedangkan mengingat Allah dalam surat Al Anfal ayat 45 sebanding dengan sholat dalam surat Al Baqarah ayat 45.

Selain itu, ada ayat serupa terdapat dalam surat Al Hijr, 97-99 yang memerintahkan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin untuk bertasbih (mensucikan Allah) dan bersujud kepada-Nya ketika menghadapi problematika hidup. Allah subhanahu wata’ala berfirman :

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ ، فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُن مِّنَ السَّاجِدِينَ ، وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat),dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)” (Qs. Al Hijr : 97-99)

Kalau kita bandingkan tiga ayat di atas kira-kira seperti di bawah ini :

QS. Al Baqarah : 45 = meminta bantuan ( dg SABAR + SHOLAT )

QS. Al Anfal:45 = menghadapi musuh ( dg TEGUH + MENGINGAT ALLAH)

QS Al Hijr : 97-99 = Ketika didustakan ( BERTASBIH + SHOLAT )

Subhanallah ..telah terjadi keserasian dan kesesuaian antara ayat satu dengan yang lain, dan ini merupakan salah satu bukti bahwa Al Qur’an datang dari Allah subhanahu wata’ala. Dalam hal ini Allah subhanahu wata’ala berfirman :

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Qs. An Nisa’ : 82)

Pelajaran Keenam :

Selain ayat-ayat di atas, disana ada beberapa hadist yang menunjukkan bahwa dzikir dan mengingat Allah adalah senjata utama setiap muslim di dalam menghadapi suatu problematika, diantara hadist-hadist tersebut adalah :

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا كَرَبَهُ أَمْرٌ قَالَ : يَا حَىُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ

”Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menghadapi suatu masalah, beliau berdoa : ” Wahai Yang Maha Hidup Kekal, Yang terus menerus mengurus ( mahluk-Nya ), hanya dengan rahmat-Mu saja, saya meminta pertolongan ” (HR. Tirmidzi)

كَانَ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ اِذَا حَزَبَهُ اَمْرٌ قَالَ: لَا ِالَهَ اِلَّا اللهُ الْحَلِيْمُ الْكَرِيْمِ, سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ , اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

”Rosulullah shallahu ‘alaihi wasallam ketika menghadapi suatu masalah, beliau berdoa:”Tiada Ilah kecuali Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Penyantun lagi Maha Mulia, Maha Suci Allah Robb dari Arsy yang agung, dan segala puji bagi Allah Robb sekalian alam ” (HR. Ahmad)

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُوْ عِنْدَ الْكُرَبِ: ” لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ الْعَظِيْمِ الْحَلِيْمِ, لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ ,لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ, وَرَبِّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمِ”.

”Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menghadapi suatu masalah, beliau berdoa : ”Tiada Ilah kecuali Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Agung dan Maha Penyantun,  Tiada Ilah kecuali Allah,Yang mempunyai Arsy yang agung , Tiada Ilah kecuali Allah Yang Mempunyai langit tujuh, dan Yang mempunyai Arsy yang mulia” (HR. Bukhari Muslim)

وَقَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ : ”أَلَا اُخْبِرُكُمْ بِشَىْءٍ اِذَا نَزَلَ بِأَحَدِكُمْ كُرَبٌ أَوْ بَلَاءٌ مِنْ اَمْرِ الدُّنْيَا دَعَا بِهَا فَيَفْرِجُ عَنْهُ  دُعَاءَ ذِى النُّوْنِ: لَا اِلَهَ اِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ اِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ.

Rosululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Maukah aku beritahukan kepadamu sesuatu jika kamu ditimpa suatu masalah  atau ujian dalam urusan dunia ini, kemudian berdoa dengannya, niscaya akan ada jalan keluarnya ? yaitu do’anya nabi Yunus : ”Bahwa tidak ada Ilah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim” (HR. Hakim)

Pelajaran Ketujuh :

Salah satu bukti bahwa sabar dan sholat akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat serta akan meringankan beban hidup ini adalah kisah nyata yang dialami oleh salah pemuda yang tinggal di wilayah Arab. Pada awalnya dia hidup dalam keadaan lebih dari cukup. Ayahnya adalah seorang guru ngaji di sebuah masjid. Walaupun begitu keshalehan ayahnya tidaklah menjadikannya seorang pemuda yang sholeh juga. Dia setiap hari bergelimangan dengan uang, sehingga terjerat dengan kehidupan yang gelap. Pada suatu hari terjadilah kecelakaan yang menimpa dirinya yang membuat kakinya lumpuh. Para dokter mengatakan bahwa tidak ada sebab berarti yang menyebabkan kakinya lumpuh, diperkirakan hanya gangguan syaraf karena benturan. Suatu hari, ketika ia sedang turun dari mobil dengan kursi rodanya dengan maksud singgah di rumah temannya, tiba-tiba ia mendengar suara adzan yang sanggup menggetarkan hatinya yang selama ini keras. Suara adzan tersebut ternyata mampu meluluhkan hatinya, dan membuatnya rindu kepada masjid. Sejak itu dia mulai rajin ke masjid untuk melakukan sholat jama’ah, walaupun kakinya lumpuh, padahal di saat dia sehat dan kuat, kakinya tidak pernah sekalipun menginjak masjid. Maha suci Allah Yang menjadikan musibah sebagai jalan menuju hidayah dan kebaikan. Selang beberapa minggu dia dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba dia bermimpi melihat ayahnya bangkit dari kuburan seraya memegang bahunya sambil berkata : ”Wahai anakku janganlah engkau bersedih, karena Allah telah mengampuniku karenamu ”. Dan mimpi seperti itu berulang-ulang datang kepadanya setiap dia tidur. Setelah beberapa tahun lamanya dia konsisten melakukan sholat jama’ah di masjid dan biasanya ia duduk di atas kursi tepatnya di shof pertama yang paling ujung. Pada suatu hari, ketika ia sholat shubuh dan kebetulan sang imam membaca qunut panjang sekali, do’a tersebut mampu menggetarkan hatinya dan membuatnya nangis, secara tidak sengaja, tiba-tiba hatinya bergetar-getar sangat hebat seakan-akan ingin keluar dari dadanya .ia merasa bahwa ajalnya sudah dekat, tetapi secara mendadak dia menjadi tenang kembali dan meneruskan sholatnya bersama imam hingga selesai. Setelah itu ia bangkit dari kursi  secara tidak sengaja dan bisa berdiri kembali dan penyakitnya sembuh total. Subhanallah……. beginilah Allah menunjukkan kepada para hamba-Nya tentang kekuatan sholat yang ternyata membuat seseorang bahagia di dunia dan  akherat.

Pelajaran Kedelapan :

Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan juga bahwa sholat merupakan sarana untuk mencapai sebuah kesabaran. Ketika Allah memerintahkan seseorang bersabar mungkin kita akan bertanya-tanya : ”bagaimana caranya supaya bisa bersabar ?”, maka Allah dalam ayat itu juga memberitahukan bahwa cara yang paling efektif untuk memupuk kesabaran adalah dengan selalu menegakkan sholat, dan mendekatkan diri kepada Allah. Mungkin kita juga akan bertanya : ”Bersabar dan menegakkan sholat sesuai dengan aturannya adalah sesutau yang sangat berat, bagaimana caranya supaya jiwa ini tidak berat untuk selalu bersabar dan melakukan sholat tersebut ?” Maka Allah subhanahu wata’ala pada ayat berikutnya menjelaskan caranya, yaitu dengan selalu mengingat kematian, selalu mengingat bahwa manusia ini cepat atau lambat akan bertemu dengan Allah subhanahu wata’ala di akherat nanti untuk dimintai pertanggung jawaban terhadap apa yang selama ini dikerjakan di dunia. Untuk mempermudah pemahaman, hal itu bisa digambarkan sebagai berikut :

- Dunia ini banyak problematika, maka  harus dihadapi dengan SABAR.

- Untuk menumbuhkan dan memupuk kesabaran  adalah dengan SHOLAT.

- Agar terasa ringan di dalam mengerjakan sholat dan bisa melakukannya dengan khusu’ adalah dengan selalu mengingat AKHIRAT.

Inilah rahasia kenapa Rosulullah shallalllahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita untuk selalu  memperbanyak mengingat kematian, dalam salah satu hadistnya :

أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِ هَاذِمِ اللَّذَاتِ

”Perbanyaklah untuk selalu mengingat ”penghancur kelezatan” (yaitu kematian)” (Hadist Hasan Riwayat Tirmidzi)

Dalam hal ini Umar bin Abdul Aziz pernah berkata :

أَكْثِرْ مِنْ ذِكْرِ الْمَوْتِ، فَإِنْ كُنْتَ وَاسِعَ الْعَيْشِ ضَيَّقَهُ عَلَيْكَ، وَإِنْ كُنْتَ ضَيَّقَ الْعَيْش وَسِعَهُ عَلَيْكَ

” Perbanyaklah untuk selalu mengingat kematian, maka jika kamu bercukupan dalam hidup, niscaya dia akan mempersempitmu, dan jika  kamu dalam kesempitan hidup, niscaya dia akan memperluaskannya untukmu . ”

Source :
Puskafi Cairo


JADIKAN SABAR DAN SHOLAT SEBAGAI PENOLONG MU ( AL-BAQARAH: 45-46 )

Suhefriandi

" Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”. (Al-Baqarah: 45-46)

Ibnu Katsir menjelaskan satu prinsip dan kaidah dalam memahami Al-Qur’an berdasarkan ayat ini bahwa meskipun ayat ini bersifat khusus ditujukan kepada Bani Israel karena konteks ayat sebelum dan sesudahnya ditujukan kepada mereka, namun secara esensi bersifat umum ditujukan untuk mereka dan selain mereka. Bahkan setiap ayat Al-Qur’an, langsung atau tidak langsung sesungguhnya lebih diarahkan kepada orang-orang yang beriman, karena hanya mereka yang mau dan siap menerima pelajaran dan petunjuk apapun dari Kitabullah. Maka peristiwa yang diceritakan Allah Taala tentang Bani Israel, terkandung di dalamnya perintah agar orang-orang yang beriman mengambil pelajaran dari peristiwa yang dialami mereka. Begitulah kaidah dalam setiap ayat Al-Qur’an sehingga kita bisa mengambil bagian dari setiap ayat Allah swt. “Al-Ibratu Bi’umumil Lafzhi La Bikhusus sabab” (Yang harus dijadikan dasar pedoman dalam memahami Al-Qur’an adalah umumnya lafazh, bukan khususnya sebab atau peristiwa yang melatarbelakanginya”.

Perintah dalam ayat di atas sekaligus merupakan solusi agar umat secara kolektif bisa mengatasi dengan baik segala kesulitan dan problematika yang datang silih berganti. Sehingga melalui ayat ini, Allah memerintahkan agar kita memohon pertolongan kepada-Nya dengan senantiasa mengedepankan sikap sabar dan menjaga shalat dengan istiqamah. Kedua hal ini merupakan sarana meminta tolong yang terbaik ketika menghadapi berbagai kesulitan. Rasulullah saw selaku uswah hasanah, telah memberi contoh yang konkrit dalam mengamalkan ayat ini. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dijelaskan bahwa, “Sesungguhnya Rasulullah saw apabila menghadapi suatu persoalan, beliau segera mengerjakan shalat“.

Huzaifah bin Yaman menuturkan, “Pada malam berlangsungnya perang Ahzab, saya menemui Rasulullah saw, sementara beliau sedang shalat seraya menutup tubuhnya dengan jubah. Bila beliau menghadapi persoalan, maka beliau akan mengerjakan shalat“. Bahkan Ali bin Abi Thalib menuturkan keadaan Rasulullah saw pada perang Badar, “Pada malam berlangsungnya perang Badar, semua kami tertidur kecuali Rasulullah, beliau shalat dan berdo’a sampai pagi“.

Dalam riwayat Ibnu Jarir dijelaskan bagaimana pemahaman sekaligus pengamalan sahabat Rasulullah saw terhadap ayat ini. Diriwayatkan bahwa ketika Ibnu Abbas melakukan perjalanan, kemudian sampailah berita tentang kematian saudaranya Qatsum, ia langsung menghentikan kendaraanya dan segera mengerjakan shalat dua raka’at dengan melamakan duduk. Kemudian ia bangkit dan menuju kendaraannya sambil membaca, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’“.

Secara khusus untuk orang-orang yang beriman, perintah menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong ditempatkan dalam rangkaian perintah dzikir dan syukur. “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah swt senantiasa bersama dengan orang-orang yang sabar“. (Al-Baqarah: 152-153). Dalam kaitan dengan dzikir, menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong adalah dzikir. Siapa yang berdzikir atau mengingat Allah dengan sabar, maka Allah akan mengingatnya dengan rahmat.

 Masih dalam konteks orang yang beriman, sikap sabar yang harus selalu diwujudkan adalah dalam rangka menjalankan perintah-perintah Allah Taala, karena beban berat yang ditanggungnya akan terasa ringan jika diiringi dengan sabar dan shalat. Ibnul Qayyim mengkategorikan sabar dalam rangka menjalankan perintah Allah Taala termasuk sabar yang paling tinggi nilainya dibandingkan dengan sabar dalam menghadapi musibah dan persoalan hidup.

Syekh Sa’id Hawa menjelaskan dalam tafsirnya, Asas fit Tafasir kenapa sabar dan shalat sangat tepat untuk dijadikan sarana meminta pertolongan kepada Allah Taala. Beliau mengungkapkan bahwa sabar dapat mendatangkan berbagai kebaikan, sedangkan shalat dapat mencegah dari berbagai perilaku keji dan munkar, disamping juga shalat dapat memberi ketenangan dan kedamaian hati. Keduanya (sabar dan shalat) digandengkan dalam kedua ayat tersebut dan tidak dipisahkan, karena sabar tidak sempurna tanpa shalat, demikian juga shalat tidak sempurna tanpa diiringi dengan kesabaran. Mengerjakan shalat dengan sempurna menuntut kesabaran dan kesabaran dapat terlihat dalam shalat seseorang.

Lebih rinci, syekh Sa’id Hawa menjelaskan sarana lain yang terkait dengan sabar dan shalat yang bisa dijadikan penolong. Puasa termasuk ke dalam perintah meminta tolong dengan kesabaran karena puasa adalah separuh dari kesabaran. Sedangkan membaca Al-Fatihah dan doa termasuk ke dalam perintah untuk meminta tolong dengan shalat karena Al-Fatihah itu merupakan bagian dari shalat, begitu juga dengan do’a.

 Memohon pertolongan hanya kepada Allah merupakan ikrar yang selalu kita lafadzkan dalam setiap shalat kita, “Hanya kepada-Mu-lah kami menyembah dan hanya kepadaMulah kami mohon pertolongan“. Agar permohonan kita diterima oleh Allah, tentu harus mengikuti tuntunan dan petunjuk-Nya. Salah satu dari petunjuk-Nya dalam memohon pertolongan adalah dengan sentiasa bersikap sabar dan memperkuat hubungan yang baik dengan-Nya dengan menjaga shalat yang berkualitas. Disinilah shalat merupakan cerminan dari penghambaan kita yang tulus kepada Allah.

Esensi sabar menurut Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dapat dilihat dari dua hal: Pertama, sabar karena Allah atas apa yang disenangi-Nya, meskipun terasa berat bagi jiwa dan raga. Kedua, sabar karena Allah atas apa yang dibenci-Nya, walaupun hal itu bertentangan keinginan hawa nafsu. Siapa yang bersikap seperti ini, maka ia termasuk orang yang sabar yang Insya Allah akan mendapat tempat terhormat.

Betapa kita sangat membutuhkan limpahan pertolongan Allah dalam setiap aktivitas dan persoalan kehidupan kita. Adalah sangat tepat jika secara bersama-sama kita bisa mengamalkan petunjuk Allah dalam ayat di atas agar permohonan kita untuk mendapatkan pertolongan-Nya segera terealisir. Amin

Sumber
Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA

AMR BIN JAMUH, MENGAPAI SURGA DENGAN KAKI PINCANG

Suhefriandi

Amr bin Jamuh adalah salah seorang pemimpin Yatsrib pada masa jahiliyah. Dia ipar Abdull bin Amr bin Haram, juga kepala suku Bani Salamah yang dihormati yang dihormati karena pemurah dan memiliki peri kemanusiaan yang tinggi serta gemar menolong orang-orang yang membutuhkan

Telah menjadi kebiasaan para bangsawan jahiliyah untuk menempatkan patung di rumah mereka masing-masing. Dengan demikian, mereka bisa mengambil berkah dan dan memuja patung tersebut setiap saat. Selain itu, untuk memudahkan mereka meletakkan sesajen sembari mengadukan keluhan-keluhan mereka pada waktu yang diperlukan.

Patung di rumah Amr bin Jamuh bernama “Manat”. Patung itu terbuat dari kayu, indah dan mahal harganya. Untuk perawatannya, Amr bin Jamuh terkadang harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Hampir setiap hari patung itu dibersihkan dan diminyaki dengan wangi-wangian khusus dan mahal.

Tatkala cahaya Islam mulai bersinar di Yatsrib dari rumah ke rumah, usia Amr bin Jamuh sudah lewat 60 tahun. Tiga orang putranya: Mu’awadz, Mu’adz dan Khalad, serta seorang kawan sebaya mereka, Mu’adz bin Jabal, telah masuk Islam di tangan Mush‘ab bin Umair, sang duta Islam. Bersamaan dengan ketiga putranya, masuk Islam pula ibu mereka Hindun, istri Amr bin Jamuh. Amr tidak mengetahui kalau mereka telah masuk Islam.

Saat itu, para bangsawan dan pemuka suku di Yatsrib (Madinah) telah banyak yang masuk Islam. Hindun yang sangat mencintai dan menghormati suaminya khawatir kalau suaminya mati dalam keadaan kafir lalu masuk neraka. Sebaliknya Amr sangat mencemaskan keluarganya yang akan meninggalkan agama nenek moyang mereka. Dia takut putra-putranya terpengaruh oleh dakwah yang disebarkan oleh Mush’ab bin Umair. Karena dalam tempo singkat Mush’ab berhasil merubah agama orang banyak dan menjadikan mereka Muslim.

Oleh sebab itu, Amr selalu berkata kepada istrinya, “Hai Hindun, hati-hatilah menjaga anak-anak, agar mereka jangan sampai bertemu dengan orang itu (Mush ‘ab bin ‘Umair)!”

“Ya," jawab istrinya. "Tapi apakah kau pernah mendengar putra kita bercerita mengenai pemuda itu?”

“Celaka! Apakah Mu’adz telah masuk agama orang itu?" tanya Amr gusar.

“Tidak, bukan begitu! Tetapi Mu’adz pernah hadir dalam majelis orang itu, dia ingat kata-katanya,” jawab istrinya menenteramkan hati Amr.

"Panggillah dia kemari!” perintah suaminya.

Ketika Mu’adz hadir di hadapan ayahnya, Amr berkata, “Coba baca kata-kata yang pernah diucapkan orang itu. Bapak ingin mendengarkannya."

Mu’adz membacakan surat Al-Fatihah kepada bapaknya.

“Alangkah bagus dan indahnya kalimat itu. Apakah setiap ucapannya seperti itu?” tanya Amr.

“Bahkan lebih bagus dari itu. Bersediakah ayah baiat dengannya? Rakyat ayah telah banyak yang baiat dengan dia,” kata Mu’adz.

Orang tua itu diam sebentar. Kemudian dia berkata, “Aku tidak akan melakukannya sebelum musyawarah lebih dahulu dengan Manat. Aku menunggu apa yang dikatakan Manat.”

“Bagaimana Manat bisa menjawab? Bukankah itu benda mati, tidak bisa berpikir dan tidak bisa berbicara?” kata Mu’adz.

“Kukatakan padamu, aku tidak akan mengambil keputusan tanpa dia!” tegas Amr.

Putra-putranya mengetahui benar kapan ayah mereka menyembah berhala itu. Mereka juga tahu kalau hati ayah mereka mulai goyah. Oleh sebab itu, mereka mencari jalan bagaimana cara menghilangkan patung tersebut dari hati Amr bin Jamuh. Salah satu jalannya adalah menyingkirkan berhala tersebut dari rumah mereka dan membuangnya jauh-jauh.

Pada suatu malam, putra-putra Amr dan bersama Mu’adz bin Jabal menyusup ke dalam rumah lalu mengambil berhala tersebut dan membuangnya ke dalam lubang kotoran manusia. Tidak seorang pun yang mengetahui dan melihat perbuatan mereka itu.

Pagi harinya, Amr tidak melihat Manat di tempatnya. Ia bergegas mencari berhala tersebut dan akhirnya menemukan di tempat pembuangan kotoran. Bukan main marahnya Amr bin Jamuh melihat kondisi sesembahannya itu. Setelah membersihkan sang berhala dan memberinya wewangian, ia kembali meletakkannya di tempat semula.

Malam berikutnya, Muadz bin Jabal dan putra-putra Amr memperlakukan berhala itu seperti sebelumnya. Demikian juga pada malam-malam berikutnya. Akhirnya, habislah kesabaran Amr. Diambilnya pedang, kemudian digantungkannya di leher Manat, seraya berkata, " Hai Manat, jika kamu memang hebat, tentu bisa menjaga dirimu dari aniaya orang lain!"

Keesokan harinya, Amr bin Jamuh tidak menemukan berhalanya kembali. Ketika ia cari, benda tersebut ditemukannya di tempat pembuangan hajat, terikat bersama bangkai seekor anjing. Di saat ia keheranan, marah dan kecewa, muncullah beberapa pemuka Madinah yang telah masuk Islam. Sambil menunjuk berhala yang terikat dengan bangkai anjing itu, mereka berusaha mengetuk hati Amr bin Jamuh agar menggapai hidayah Allah.

Akhirnya ia sadar, bahwa Manat tak dapat berbuat apa-apa. Manat ternyata tak mempunyai sifat ketuhanan sedikit pun. Selama ini, ia berpikir bahwa kekayaan yang ia miliki itu datang dari Manat. Sekarang ia sadar, bahwa Manat bukanlah Tuhan yang dapat memberinya rezeki dan petunjuk. 

Ia kemudian membersihkan badan dan pakaiannya, memakai wewangian, lalu bergegas menemui Nabi Muhammad SAW untuk menyatakan keislamannya. Amr bin Jamuh merasakan bagaimana manisnya iman. Dia sangat menyesali dosa-dosanya selama dalam kemusyrikan. Maka setelah masuk Islam, ia mengarahkan seluruh hidupnya, hartanya, dan anak-anaknya dalam menaati perintah Allah dan Rasul-Nya.

Tatkala terjadi Perang Badar, Amr bin Jamuh bersiap-siap hendak turut bergabung, namun sayang Rasulullah tak mengizinkannya turut serta—melihat kondisinya yang renta dan pincang. Beliau memberikan keringanan padanya untuk tidak ikut berperang.

Namun ketika terjadi Perang Uhud, ia pun bersiap-siap hendak turut berjihad. Namun putra-putranya melarang. Ia pun nekat menemui Rasulullah dan berkata, "Wahai Rasulullah, putra-putraku melarangku berbuat kebajikan. Mereka keberatan jika aku ikut berperang karena sudah tua dan pincang. Demi Allah, dengan pincangku ini, aku bertekad meraih surga."

Rasulullah pun akhirnya mengizinkan Amr bin Jamuh turut serta dalam Perang Uhud. Dengan suara mengiba ia memohon kepada Allah SWT, "Ya Allah, berilah aku kesempatan untuk memperoleh syahid. Jangan kembalikan aku kepada keluargaku."

Tatkala perang berkecamuk, kaum Muslimin berpencar. Amr bin Jamuh berada di barisan paling depan. Dia melompat dan berjingkat seraya mengelebatkan pedangnya ke arah musuh-musuh Allah, sambil berteriak, "Aku ingin surga, aku ingin surga!"

Apa yang didambakan Amr akhirnya terwujud jua. Ia gugur sebagai syahid bersama beberapa sahabat lainnya. Tatkala perang berakhir, Rasulullah SAW memerintahkan untuk memakamkan jasad Abdullah bin Amr bin Haram dan Amr bin Jamuh dalam satu liang lahat. Semasa hidup, mereka berdua adalah sahabat setia yang saling menyayangi. Dalam riwayat lain disebutkan, Amr bin Jamuh dimakamkan satu liang dengan putranya, Khalad bin Amr.

Setelah 46 tahun berlalu, tanah pemakaman itu dilanda banjir. Kaum Muslimin terpaksa memindahkan jasad para syuhada. Kala itu, Jabir bin Abdullah bin Haram—putra Abdullah bin Amr bin Haram—masih hidup. Bersama keluarganya, ia memindahkan jasad ayahnya, Abdullah bin Haram dan Amr bin Jamuh. Mereka mendapatkan kedua jasad syuhada itu tetap utuh. Tak sedikit pun dari tubuh mereka yang dimakan tanah. Bahkan keduanya seperti tertidur nyenyak dengan bibir menyunggingkan senyum.

Sumber:101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni

MERANTAULAH

Imam asy-Syafi’i adalah seorang ulama besar yang terkenal dengan kecerdasan dan kata-kata mutiara yang penuh hikmah. Buktinya, beliau mampu menyusun kata-kata mutiara yang mendalam dalam bait-bait syair. Syair-syair beliau dibukukan dan dinamai Diwan asy-Syafi’i.

Di antara syair beliau yang sangat baik kita renungkan maknanya adalah nasihat beliau agar seseorang merantau, meninggalkan zona nyamannya menuju wilayah baru, suasana baru, pengalaman baru, dan berkenalan dengan orang-orang baru pula. Nasihat tersebut disusun dalam bait syair berikut ini…

#-Merantaulah…-

Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang).#

#Merantaulah…

Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan).
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.#

#Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan..
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.#

#Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa..
Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akam kena sasaran.#

#Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam..
tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.#

#Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang).
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.#

#Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya.
Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.#

———————————————————————————————-
Merantaulah…

Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang)
———————————————————————————————-

Sumber: Diwan al-Imam asy-Syafi’i. Cet. Syirkah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Beirut. Hal. 39

Artikel www.KisahMuslim.com

AMR BIN ASH, PEMBEBAS MESIR DARI CENGKRAMAN ROMAWI

Namanya adalah Amr bin Ash bin Wail bin Hisyam bin Said bin Sahm al-Qurasyi as-Sahmi. Di antara jasa besarnya adalah ketika Umar bin Khattab mengamanatinya untuk menaklukkan Mesir, dan dia berhasil menunaikan amanat tersebut. Amr merupakan salah seorang pahlawan bangsa Arab yang sangat terkenal, sekaligus seorang politisi yang cemerlang. Terkenal dengan kecerdasan dan kepintarannya mengatur siasat.

Sebelum Memeluk Islam

Kuniah Amr bin al-Ash adalah Abu Abdullah atau Abu Muhammad. Ia adalah seorang pedagang yang biasa bersafar ke Syam, Yaman, Mesir, dan Habasyah. Amr bin al-Ash memiliki bakat alamiah yang komplit, seorang penunggang kuda yang mahir, termasuk di antara kesatrinya kaum Quraisy, negosiator ulung, dan ia juga seorang penyair yang puitis dan fasih bahasanya. Tidak heran, mengapa orang-orang Quraisy mengirimnya untuk melobi an-Najasyi agar mengembalikan orang-orang Mekah yang hijrah ke Habasyah.

Keislaman Amr bin al-Ash

Amr bin al-Ash masuk Islam pada tahun 8 H setelah kegagalan Quraisy dalam perang Ahzab dan enam bulan sebelum penaklukkan Kota Mekah. Saat itu ia datang bersama Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah ke Kota Madinah. Ketika tiga orang ini menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah menatap ketiganya, lalu bersabda, “Mekah telah memberikan putra terbaiknya untuk kalian (umat Islam).”

Amr bin al-Ash mengatakan, “Pada saat Allah menganugerahkan hidayah Islam di hatiku, aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Aku mengatakan, ‘Julurkanlah tangan Anda, aku akan membaiat Anda’. Rasulullah pun menjulurkan tangan kanannya kepadaku. Lalu kutahan tanganku –sebentar-.

Rasulullah bertanya, ‘Ada apa wahai Amr?’

Kujawab, ‘Aku ingin Anda memberikan syarat kepadaku’.

Rasulullah mengatakan, ‘Apa syarat yang kau inginkan?’

Aku menjawab, ‘Agar dosa-dosaku diampuni.’

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Tidakkah engkau ketauhi, bahwa keislaman menghapuskan dosa-dosa sebelumnya? Demikian juga hijrah menafikan kesalahan-kesalahan yang telah lalu? Dan juga haji menyucikan hilaf dan dosa terdahulu?’ (HR. Muslim).”

Di masa keislamannya, Rasulullah dekat kepadanya dan mendidiknya dengan pendidikan tauhid yang murni. Rasulullah tahu, Amr adalah orang yang istimewa, terkenal dengan keberanian dan bakat-bakat lainnya. Rasulullah mengutus kepadanya seorang utusan yang membawa pesan, “Bawalah pakaian dan senjatamu, lalu temuilah aku.”

Amr mengatakan, “Lalu aku menemui beliau yang saat itu sedang berwudhu. Beliau menatapku lalu menganguk-anggukkan kepalanya. Setelah itu beliau bersabda,

إِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَبْعَثَكَ عَلَى جَيْشٍ فَيُسَلِّمَكَ اللَّهُ وَيُغْنِمَكَ وَأَرْغَبُ لَكَ مِنَ الْمَالِ رَغْبَةً صَالِحَةً

“Sesungguhnya aku hendak mengutusmu berperang bersama pasukan. Semoga Allah menyelamatkanmu, memberikan ghanimah, dan aku berharap engkau mendapat harta yang baik.”

Amr menanggapi, “Wahai Rasulullah, aku masuk Islam bukan untuk mencari harta, akan tetapi aku berislam karena aku mencintai agama ini. Dan menjadi salah seorang yang bersama Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam (sahabatmu).

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

يَا عَمْرُو؛ نِعْمَ المَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ

“Wahai Amr, sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki orang yang shaleh.” (HR. Ahmad dalamMusnad-nya no.17798 dan Hakim no.2926).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عَمْرَو بْنَ العَاصِ مِنْ صَالحِي قُرَيْشٍ

“Sesungguhnya Amr bin al-Ash adalah di antara orang-orang yang baik dari kalangan Quraisy.” (HR. Tirmidzi dalam Sunan-nya no.3845).

Dalam riwayat Hakim dalam Mustadrak Rasulullah mempersaksikan bahwa Amr bin al-Ash adalah orang yang beriman bukan seorang laki-laki yang munafik.

ابْنَا الْعَاصِ مُؤْمِنَانِ هِشَامٌ وَعَمْرٌو

“Dua orang anak laki-laki al-Ash adalah orang yang beriman, yaitu Hisyam dan Amr.” (HR. Hakim no.5053 dan Ahmad dalam Musnad-nya no. 8029)

Ini adalah persaksian dari manusia yang paling mulia, yang perkataannya adalah wahyu yang tidak didustakan, atas keimanan Amr bin al-Ash. Rasulullah sangat mencintai dan mengagumi kemampuan Amr bin al-Ash, terbukti dengan beliau mengangkatnya sebagai pimpinan pasukan perang Dzatu Salasil dan mengangkatnya sebagai amir wilayah Oman sampai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.

Penaklukkan oleh Amr bin al-Ash

Pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq, Amr bin al-Ash turut serta dalam memerangi orang-orang murtad. Setelah itu Abu Bakar mengangkatnya sebagai panglima salah satu pasukan yang diberangkatkan menuju wilayah Syam. Lalu ia bergabung dengan Khalid bin Walid dalam Perang Yarmuk. Kemudian ia merampungkan penaklukkan wilayah Syam. Melalui pemimpin ulung ini, wilayah Gaza, Yafa, Rafah, Nabulus, dll. berhasil dikuasai kaum muslimin.

Pada masa Umar bin Khattab, ia dipercaya memimpin wilayah Palestina. Kemudian Umar memerintahkannya berangkat menuju Mesir untuk menghadapi pasukan Romawi. Umar sangat mengagumi kecerdasan yang dimiliki Amr bin al-Ash, sampai-samapi ia memujinya dengan mengatakan, “Tidak pantas, bagi Abu Abdullah (Amr bin al-Ash) berjalan di muka bumi ini kecuali sebagai seorang pemimpin.” (Riwayat Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 46:155).

Tibalah waktu dimana Umar bin Khattab memerintahkan Amr untuk berangkat ke Mesir memerangi orang-orang Romawi. Menyerang negara adidaya ini, Amr hanya diberi bekal 4000 orang pasukan yang berangkat bersamanya. Tanpa perasaan gentar dan takut, pasukan pun bertolak menuju ke tanah para Firaun itu.

Amirul mukminin, Umar bin Khattab tetap memantau pasukan ini, ia senantiasa meneliti kabar-kabar tentang Romawi di Mesir dan juga senantiasa berdiskusi dengan pembesar sahabat. Setelah beberapa diskusi dan mendengar kabar-kabar tentang Romawi, Umar khawatir dengan pasukan Amr, khawatir mereka tidak mampu menghadapi pasukan Romawi yang begitu kuat dan banyak jumlahnya. Akhirnya amirul mukminin menulis surat kepada Amr,

إذا بلغتكَ رسالتي قبل دخولك مصر فارجع، وإلَّا فسِرْ على بركة الله

Apabila suratku sampai kepadamu sebelum engkau memasuki Mesir, maka kembalilah! Tetapi jika engkau sudah memasukinya, lanjutkanlah dengan keberkahan dari Allah.

Akhirnya surat tersebut sampai ke tangan Amr yang kala itu sudah memasuki wilayah Arisy (pinggiran Mesir pen.). Amr bertanya kepada pasukannya, “Apakah kita sudah memasuki Mesir atau masih berada di wilayah Palestina?” Pasukannya menjawab, “Sekarang kita sudah di Mesir.” Lalu Amr mengatakan, “Jika demikian kita lanjutkan perjalanan sebagaimana yang diperintahkan amirul mukminin.”

Pemimpin yang cerdik dan pemberani ini membawa pasukannya menaklukkan kota demi kota di wilayah Mesir. Dimulai dari Kota Farma, kemudian Belbis, dan Ummu Danain. Setelah itu sampailah Amr di kota besar Iskandariyah. Di kota ini terdapat 50.000 orang pasukan Romawi.

4000 pasukan yang tenaganya telah tercurah dalam beberapa peperangan sebelumnya, dengan gagah berani mengepung Kota Iskandariyah yang memiliki pasukan yang besar. Di tengah pengepungan, tersiar kabar bahwa Raja Romawi di Konstantinopel wafat dan digantikan dengan adiknya. Sang adik yang tidak banyak mengetauhi tentang konflik di Mesir ini, memandang tidak ada celah untuk mengalahkan umat Islam. Ia memerintahkan perwakilannya di Mesir, Raja Muqauqis, agar mengikat perjanjian damai dengan umat Islam.

Dalam perjanjian damai itu, tersebutlah beberapa poin berikut ini: (1) Setiap orang menyerahkan dua dinar, kecuali orang tua dan anak-anak, (2) Orang-orang Romawi pergi dengan harta dan barang-barang mereka dari Kota Iskandariyah, (3) Umat Islam menghormati gereja-gereja Kristiani saat memasuki kota, dan syarat lainnya. Setelah itu, Amr mengirimkan kabar gembira ke Madinah bahwa Mesir sudah jatuh ke tangan umat Islam.

Menjadi Gubernur Mesir

Masjid Amr bin al-Ash di Kairo. Masjid ini adalah masjid pertama yang dibangun di benua Afrika, pada tahun 21 H/641 M

Orang-orang Mesir menyambut gembira kedatangan umat Islam, hal itu dikarenakan mereka mengetahui keadilan umat Islam dan mereka bebas dari kezaliman dan sifat kasar orang-orang Romawi. Amr bin al-Ash berkata kepada penduduk Mesir, “Wahai penduduk Mesir, sesungguhnya Nabi kami telah mengabarkan bahwa Allah akan menaklukkan Mesir untuk umat Islam, dan beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mewasiatkan kami agar berbuat baik kepada kalian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا افْتَتَحْتُمْ مِصْرَ فَاسْتَوْصُوا بِالْقِبْطِ خَيْرًا؛ فَإِنَّ لهُمْ ذِمَّةً وَرَحِمًا

‘Jika kalian menaklukkan Mesir, maka aku wasiatkan agar kalian berbuat baik kepada orang-orang Qibthi ini. Mereka berhak atas perlindungan dan kasih sayang’.” (HR. Muslim no.2543).

Selama masa-masa memimpin Mesir, Amr sangat mencintai dan dicintai rakyatnya. Ia memperlakukan mereka dengan adil dan penuh hikmah. Pada masanya juga Mesir mengalami kemajuan pembangunan, di antaranya perencanaan pembangunan Kota Fustat (sekarang disebut Kairo).

Wafatnya Amr bin al-Ash

Amr bin al-Ash wafat pada tahun 43 H atau 663 M, saat itu umurnya lebih dari 90 tahun. Ia telah meriwayatkan 39 hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika ia sedang sakit yang mengantarkannya kepada wafat, anaknya Abdullah bin Amr datang menemuianya. Abdullah melihat ayahanda tercinta sedang menangis, lalu ia mengatakan, “Wahai ayahanda, bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kabar gembira kepadamu, bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah memberikan kabar gembira kepadamu.”

Kemudian Amr menghadapkan wajahnya dan mengatakan, “Aku mengalami tiga fase perjalanan hidup; dahulu aku adalah orang yang sangat membenci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku sangat senang apabila aku berhasil menangkapnya lalu membunuhnya dengan tanganku. Seandainya aku wafat dalam fase ini, pastilah aku menjadi penduduk neraka.

Ketika Allah menghadirkan kecintaan terhadap Islam di dalam hatiku, aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kukatakana kepada beliau, ‘Julurkanlah tangan Anda, aku akan membaiat Anda’. Rasulullah pun menjulurkan tangan kanannya kepadaku. Lalu kutahan tanganku –sebentar-.

Beliau bertanya, ‘Ada apa wahai Amr?’

Kujawab, ‘Aku ingin Anda memberikan syarat kepadaku’.

Rasulullah mengatakan, ‘Apa syarat yang kau inginkan?’

Aku menjawab, ‘Agar dosa-dosaku diampuni.’

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Tidakkah engkau ketauhi, bahwa keislaman menghapuskan dosa-dosa sebelumnya? Demikian juga hijrah menafikan kesalahan-kesalahan yang telah lalu? Dan juga haji menyucikan hilaf dan dosa terdahulu?’

Tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mataku senantiasa membayangkan dirinya. Aku segan menahan pandanganku –menatap matanya saat matanya menatap mataku- yang demikian, karena aku sangat menghormatinya. Kalau sekiranya aku dipinta untuk menjelaskan fisik beliau, -mungkin- aku tidak mampu, karena aku tidak pernah menyorotkan mataku kepadanya karena rasa hormatku untuknya. Jika aku wafat dalam keadaan demikian, aku berharap aku termasuk penduduk surga.

Kemudian terjadilah suatu perkara, yang aku tidak tahu bagaimana keadaanku kala itu. Tidak bersamaku angin yang berhembus demikian juga api. Saat kalian menguburkanku dan kalian lempari aku dengan tanah pekuburan, kemudian kalian berdiri sesaat di pemakamanku, dan aku menunggu apa yang aku akan jawab dari pertanyaan utusan (malaikat) Rab-ku.” (Riwayat Muslim dalam kitab al-iman, no.121)

Demikianlah Amr bin al-Ash, seorang sahabat yang mulia, seseorang yang memiliki jasa besar terhadap penyebaran dan kekuatan Islam juga terhadap umat Islam. Seorang yang dicintai oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifah setelahnya. Semoga Allah meridhai beliau…

Sumber: islamstory.com

Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com


AL-KHANSA; BINTI AMR, IBUNDA PARA SYUHADA

     Khansa terkenal dengan julukan "Ibunda Para Syuhada". Ia dilahirkan pada zaman jahiliyah dan tumbuh besar di tengah suku bangsa Arab mulia, yaitu Bani Mudhar. Sehingga banyak sifat mulia yang terdapat dalam dirinya.

Ia adalah seorang yang fasih, mulia, murah hati, tenang, pemberani, tegas, tak kenal pura-pura dan suka berterus terang. Selain keutamaan itu, ia pun pandai bersyair. Ia terkenal dengan syair-syairnya yang berisi kenangan kepada orang-orang tercinta yang telah tiada. Terutama kepada kedua orang saudara lelakinya, yaitu Muawiyah dan Sakhr yang telah meninggal dunia.

Khansa sering bersyair tentang kedua saudaranya itu sehingga ia ditegur oleh Umar bin Khathab. Umar pernah bertanya kepada Khansa, "Mengapa matamu bengkak-bengkak?"

"Karena aku terlalu banyak menangisi pejuang-pejuang Mudhar yang terdahulu," jawab Khansa.

Umar berkata, "Wahai Khansa, mereka semua ahli neraka."

"Justru itulah yang membuatku lebih kecewa dan sedih lagi. Dahulu aku menangisi Sakhr atas kehidupannya, sekarang aku menangisinya karena ia ahli neraka."

Khansa menikah dengan Rawahah bin Abdul Azis As-Sulami. Dari pernikahan itu ia mendapatkan empat orang anak laki-laki. Melalui pembinaan dan pendidikan tangannya yang dingin, keempat anak lelakinya ini tumbuh menjadi pahlawan-pahlawan Islam yang terkenal. Dan Khansa sendiri terkenal sebagai ibu para syuhada. Hal itu karenakan dorongannya terhadap keempat anak lelakinya yang telah gugur sebagai syahid di medan Perang Qadisiyah.

Sebelum peperangan dimulai, terjadilah perdebatan sengit di rumah Khansa. Di antara keempat putranya saling berebut kesempatan mengenai siapakah yang akan ikut berperang melawan tentara Persia, dan siapakah yang harus tinggal di rumah bersama ibunda mereka. Keempatnya saling menunjuk yang lain untuk tinggal di rumah. Masing-masing ingin turut berjuang melawan musuh-musuh Allah. Rupanya perdebatan mereka itu terdengar oleh Khansa. 

Maka Khansa mengumpulkan keempat anaknya dan berkata, "Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian memeluk agama ini tanpa paksaan. Kalian telah berhijrah dengan kehendak sendiri. Demi Allah, yang tiada Tuhan selain dia, sesungguhnya kalian ini putra-putra dari seorang lelaki dan seorang perempuan yang sama. Tidak pantas bagiku untuk mengkhianati ayahmu, atau membuat malu pamanmu, atau mencoreng arang di kening keluargamu." 

Khansa berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, "Jika kalian telah melihat perang, singsingkanlah lengan baju dan berangkatlah. Majulah paling depan, niscaya kalian akan mendapatkan pahala di akhirat, negeri keabadian. Sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Inilah kebenaran sejati, maka berperanglah dan bertempurlah sampai mati. Wahai anakku, carilah maut niscaya kalian dianugerahi hidup."

Pemuda-pemuda itu pun keluar menuju medan perang. Mereka berjuang mati-matian melawan musuh, sehingga banyak yang tewas di tangan mereka. Akhirnya mereka pun satu per satu gugur sebagai syahid. Ketika Khansa mendengar kematian dan kesyahidan putra-putranya, sedikit pun ia tak merasa sedih. 

Bahkan ia berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan syahidnya putra-putraku. Semoga Allah segera memanggilku dan berkenan mempertemukanku dengan mereka dalam naungan rahmat-Nya yang luas."

Khansa wafat pada permulaan pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, pada tahun ke-24 Hijriyah.

Sumber:101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni

ALI BIN ABI THALIB, KHALIFAH RASYID KE EMPAT

Imam Ali bin Abi Thalib adalah khalifah rasyid yang keempat. Keutamaan dan keistimewaannya adalah sesuatu yang tidak diragukan lagi kecuali oleh orang-orang Khawarij (Ibnu Muljam dan komplotannya) yang lancang memerangi bahkan menumpahkan darahnya.

Berbeda dengan tiga khalifah sebelumnya, dimana sebagian orang terjebak dalam kesalahan dengan merendahkan kedudukan mereka, Ali bin Abi Thalib sebaliknya, orang-orang terjebak dalam kekeliruan, penyimpangan dan kesesatan bahkan kekufuran karena berlebih-lebihan dalam mengagungkannya. Sebagaimana Abdullah bin Saba dan orang-orang yang mengikutinya.

Suwaid bin Ghafalah datang menemui Aliradlhiallaahu ’anhu di masa kepemimpinannya. Lalu Suwaid berkata, “Aku melewati sekelompok orang menyebut-nyebut Abu Bakr dan Umar (dengan kejelekan). Mereka berpandangan bahwa engkau juga menyembunyikan perasaan seperti itu kepada mereka berdua. Di antara mereka adalah Abdullah bin Saba dan dialah orang pertama yang mengampanyekan hal tersebut’. Ali menjawab, “Aku berlindung kepada Allah menyembunyikan sesuatu terhadap mereka berdua kecuali kebaikan”. Kemudian beliau mengirim utusan kepada Abdullah bin Saba dan mengusirnya ke al-Madain. Ia juga berkata, “Jangan sampai engkau tinggal satu negeri bersamaku selamanya”. Kemudian ia berdiri menuju mimbar dan orang-orang pun berkumpul… …Ali berkata, “Ketahuilah, jangan pernah sampai kepadaku dari seorang pun yang mengutamakan aku dari mereka berdua melainkan aku akan mencambuknya sebagai hukuman untuk orang yang berbuat dusta.”

Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Sesungguhnya mengikuti hawa nafsu menghalangi dapat seseorang dari kebenaran dan panjangan angan-angan dapat membuatnya lupa akhirat.”

Nasabnya

Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah. Rasulullah memberinya kun-yah Abu Turab. Ia adalah sepupu sekaligus menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Qushay bin Kilab. Ali memiliki beberapa orang saudara laki-laki yang lebih tua darinya, mereka adalah: Thalib, Aqil, dan Ja’far. Dan dua orang saudara perempuan; Ummu Hani’ dan Jumanah.

Ayahnya, Abu Thalib yang nama aslinya adalah Abdu Manaf. Abu Thalib adalah paman kandung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat menyayangi Nabi, namun ia wafat dalam agama jahiliyah.

Sifat Fisiknya

Ali bin Abi Thalib adalah laki-laki berkulit sawo matang, bola mata beliau besar dan agak kemerah-merahan. Untuk ukuran orang Arab, beliau termasuk pendek, tidak tinggi dan berjanggut lebat. Dada dan kedua pundaknya putih. Rambut di dada dan pundaknya cukup lebat, berwajah tampan, memiliki gigi yang rapi, dan ringan langkahnya (ath-Thabaqat al-Kubra, 3: 25)

Keutamaan Ali bin Abi Thalib

– Termasuk Seseorang Yang Dijamin Surga

Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, az-Zubair di surga, Sa’ad (bin Abi Waqqash) di surga, Sa’id (bin Zaid) di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Abu Ubaidah bin al-Jarrah di surga.” (HR. at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Albani).

– Rasulullah Mengumumkan di Khalayak Bahwa Allah dan Rasul-Nya Mencintai Ali

Saat Perang Khaibar, Rasulullah hendak memberikan bendera komando perang kepada seseorang. Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’adi, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Demi Allah, akan aku serahkan bendera ini esok hari kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dia dicintai Allah dan Rasul-Nya. Semoga Allah memberikan kemenangan melalui dirinya.” Maka semalam suntuk orang-orang (para sahabat) membicarakan tentang siapakah di antara  mereka yang akan diberikan bendera tersebut. Keesokan harinya, para sahabat mendatangi Rasulullah, lalu beliau bersabda, “Dimanakah Ali bin Abi Thalib?” Dijawab, “Kedua matanya sedang sakit.” Rasulullah memerintahkan, “Panggil dan bawa dia kemari.” Dibawalah Ali ke hadapan Rasulullah, lalu beliau meludahi kedua matanya yang sakit seraya berdoa untuknya. Seketika Ali sembuh total seolah-olah tidak tertimpa sakit sebelumnya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan bendera kepadanya. Lalu Ali berkata, “Wahai Rasulullah, aku memerangi mereka sampai mereka menjadi seperti kita.” Rasululah bersabda, “Majulah dengan tenang, sampai engkau tiba di tempat mereka. Kemudian ajaklah mereka kepada Islam dan sampaikanlah hak-hak Allah yang wajib mereka tunaikan. Demi Allah, sekiranya Allah member petunjuk kepada seseorang melalui dirimu, sungguh lebih berharga bagimu daripada memiliki onta-onta merah.” (HR. Muslim no. 4205).

– Kedudukan Ali di Sisi Rasulullah

Ibrahim bin Saad bin Abi Waqqash meriwayatkan dari ayahnya, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda kepada Ali, “Apakah engkau tidak ridha kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa.” (Muttafaq ‘alaihi).

Hadis ini Rasulullah sampaikan kepada Ali saat beliau tidak menyertakan Ali bin Abi Thalib dalam pasukan Perang Tabuk. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar menjadi wakil beliau di kota Madinah. Ali yang merasa tidak nyaman hanya tinggal bersama wanita, anak-anak, dan orang tua yang udzur tidak ikut perang dihibur Rasulullah dengan sabda beliau di atas.

Sa’d bin Abi Waqqash radlhiallahu ‘anhumembawakan hadits semisal dalam ash-Shahihain:

عن سعد بن أبي وقاص قال خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب في غزوة تبوك فقال يا رسول الله تخلفني في النساء والصبيان فقال أما ترضى ان تكون مني بمنزلة هارون من موسى غير انه لا نبي بعدي

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ia berkata, “Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas Ali bin Abi Thalib saat perang Tabuk (untuk menjaga para wanita dan anak-anak di rumah). Ali pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, engkau hanya menugasiku untuk menjaga anak-anak dan wanita di rumah ?’ Maka beliau menjawab, ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 4416 dan Muslim no. 2404).

Hadis ini dipakai oleh orang-orang yang berlebihan dalam mengagungkan Ali bin Abi Thalib sebagai legitimasi bahwa Ali lebih mulia dari Abu Bakar dan Umar. Padahal hadis ini adalah pembelaan Rasulullah terhadap Ali yang dituduh oleh orang-orang munafik bahwa dia merasa berat untuk berangkat perang.

Ali berkata, “Wahai Rasulullah, orang-orang munafik mengatakan bahwa engkau menugaskan aku karena engkau memandang aku berat untuk berangkat jihad dan kemudian memberikan keringanan”. Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka telah berdusta! Kembalilah, aku menugaskanmu untuk mengurus keluargaku dan keluargamu. ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku?”. Maka Ali pun akhirnya kembali ke Madinah (Taariikhul-Islaam, 1: 232).

Ayah Dari Pemimpin Pemuda Surga

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu adalah ayah dari dua orang cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni Hasan dan Husein. Kedua cucu beliau ini adalah pemimpin para pemuda di surga.

Rasulullah bersabda,

الحَسَنُ وَالحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الجَنَّةِ

“al-Hasan dan al-Husain adalah pemimpin pemuda ahli Surga.” (HR. at-Tirmidzi, no. 3781)

Penutup

Ali bin Abi Thalib mengatakan,

وَالَّذِى فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ إِنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِىِّ الأُمِّىِّ -صلى الله عليه وسلم- إِلَىَّ أَنْ لاَ يُحِبَّنِى إِلاَّ مُؤْمِنٌ وَلاَ يُبْغِضَنِى إِلاَّ مُنَافِقٌ

“Demi Dzat yang membelah biji-bijian dan melepaskan angin. Sesungguhnya Nabi telah berjanji kepadaku bahwa tidak ada yang mencintaiku kecuali ia seorang mukmin, dan tidak ada yang membenciku kecuali ia seorang munafik.” (HR. Muslim, no. 249)

Tentu saja, mencintai Ali bukan hanya klaim semata. Mencintainya adalah dengan mengikuti perintahnya, tidak melebih-lebihkannya dari yang semestinya, dan mencintai orang-orang yang ia cintai. Ali mengutamakan Abu Bakar dan Umar atas dirinya, demikian juga semestinya orang-orang yang mengaku mencintainya, mengikuti keyakinannya.

Sumber: al-Bidayah wa an-Nihayah dll.

Disusun oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com


AL-BARRA BIN MALIK, PAHLAWAN PERANG TUSTAR

       Dia adalah saudara Anas bin Malik, namanya Al-Barra' bin Malik. Dia adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang juga pahlawan perang. Walau bertubuh kerempeng dan berkulit legam, namun ia mampu menewaskan ratusan orang musyrik dalam perang tanding satu lawan satu.

Dalam Perang Yamamah, perang melawan pasukan Musailamah Al-Kadzdzab pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Al-Barra' bin Malik menunjukkan kepahlawanannya. Ketika panglima perang Khalid bin Walid melihat pertempuran kian berkobar, ia berpaling kepada Al-Barra' seraya berseru, "Wahai Al-Barra', kerahkan kaum Anshar!"

Saat itu juga Al-Barra' berteriak memanggil kaumnya. "Wahai kaum Anshar, kalian jangan berpikir kembali ke Madinah! Tidak ada lagi Madinah setelah hari ini. Ingatlah Allah, ingatlah surga!"

Setelah berkata demikian, dia maju mendesak kaum musyrikin, diikuti prajurit Anshar. Pedangnya berkelebat, menebas musuh-musuh musuh Allah yang datang mendekat.

Melihat prajuritnya berguguran, Musailamah dan kawan-kawannya kecut dan gentar. Mereka lari tunggang-langgang dan berlindung di sebuah benteng yang terkenal dalam sejarah dengan nama Kebun Maut.

Kebun Maut adalah benteng terakhir bagi Musailamah dan pasukannya. Pagarnya tinggi dan kokoh. Sang pendusta dan pengikutnya mengunci gerbang benteng rapat-rapat dari dalam. Dari puncak benteng, mereka menghujani kaum Muslimin yang mencoba masuk dengan panah.

Menghadapi keadaan yang demikian, kaum Muslimin sempat kebingungan. Dalam benak Al-Barra' muncul ide. Ia pun berteriak, "Angkat tubuhku dengan galah dan lindungi dengan perisai dari panah-panah musuh. Lalu lemparkan aku ke dalam benteng musuh. Biarkah aku syahid untuk membukakan pintu, agar kalian bisa menerobos masuk."

Dalam sekejap, tubuh kerempeng Al-Barra' telah dilemparkan ke dalam benteng. Begitu mendarat di benteng bagian dalam, ia langsung membuka pintu gerbang. Dan kaum Muslimin pun membanjir menerobos masuk. Pedang mereka berkelebat menyambar tubuh dan kepala musuh. Lebih dari 20.000 orang murtad tewas, termasuk pimpinan mereka; Musailamah Al-Kadzdzab.

Jasa Al-Barra' begitu besar. Lebih dari sebulan lamanya ia terpaksa dirawat akibat luka-luka yang dideritanya. Akhirnya ia sembuh kembali.

Sebenarnya Al-Barra' bin Malik sangat merindukan mati syahid. Dia kecewa karena gagal memperolehnya di Kebun Maut. Sejak itu ia selalu menceburkan diri ke kancah peperangan. Ia sangat rindu bertemu Rasulullah SAW.

Tatkala Perang Tustar melawan Persia berlangsung, Al-Barra' bin Malik tidak mau ketinggalan. Kala itu, pasukan musuh terdesak dan berlindung di sebuah benteng kokoh dan kuat. Temboknya tinggi besar. Kaum Muslimin mengepung benteng tersebut dengan ketat.

Dalam keadaan demikian, pasukan Persia menggunakan berbagai cara untuk menaklukkan kaum Muslimin. Mereka menggunakan pengait-pengait yang diikatkan ke ujung rantai besi yang dipanaskan. Rantai tersebut mereka lemparkan kepada pasukan Muslimin sehingga sebagian dari mereka tersambar pengait panas itu.

Banyak pasukan Islam yang tersambar pengait, di antaranya adalah Anas bin Malik, saudara Al-Barra' bin Malik. Selama beberapa saat, Anas tidak mampu melepaskan diri dari besi panas yang mengaitnya. Melihat hal itu, Al-Barra' bin Malik segera melompat ke dinding benteng dan melepaskan pengait dari tubuh saudaranya.

Tangan Al-Barra' bin Malik melepuh dan terbakar karena memegang pengait yang panas membara. Namun ia tak mempedulikannya, yang penting baginya adalah keselamatan saudaranya. Akhirnya ia berhasil menyelamatkan Anas walaupun kedua telapak tangannya lepas. Daging kedua lengannya meleleh dan hanya tinggal kerangka. Sungguh sebuah pengorbanan yang luar biasa.

Dalam Perang Tustar ini juga, Al-Barra' bin Malik memohon kepada Allah agar gugur sebagai syahid. Doanya dikabulkan, ia pun gugur sebagai syahid dengan wajah tersenyum bahagia.

Sumber:101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni

AISYAH BINTI ABU BAKAR, PUTRI SAHABAT TERPERCAYA

KEMULIAAN DAN KEUTAMAAN AISYAH

Beliau adalah Ummul Mukminin Ummu Abdillah Aisyah binti Abu Bakr, Shiddiqah binti Shiddiqul Akbar, istri tercinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lahir empat tahun setelah diangkatnya Muhammad menjadi seorang Nabi. Ibu beliau bernama Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams bin Kinanah yang meninggal dunia pada waktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup yaitu tepatnya pada tahun ke-6 H.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah dua tahun sebelum hijrah melalui sebuah ikatan suci yang mengukuhkan gelar Aisyah menjadiummul mukminin, tatkala itu Aisyah masih berumur enam tahun. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangun rumah tangga dengannya setelah berhijrah, tepatnya pada bulan Syawwal tahun ke-2 Hijriah dan ia sudah berumur sembilan tahun. Aisyah menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pasca meninggalnya Khadijah sedang aku masih berumur enam tahun, dan aku dipertemukan dengan Beliau tatkala aku berumur sembilan tahun. Para wanita datang kepadaku padahal aku sedang asyik bermain ayunan dan rambutku terurai panjang, lalu mereka menghiasiku dan mempertemukan aku dengan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Abu Dawud: 9435). Kemudian biduk rumah tangga itu berlangsung dalam suka dan duka selama 8 tahun 5 bulan, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammeninggal dunia pada tahun 11 H. Sedang Aisyah baru berumur 18 tahun.

Aisyah adalah seorang wanita berparas cantik berkulit putih, sebab itulah ia sering dipanggil dengan “Humaira”. Selain cantik, ia juga dikenal sebagai seorang wanita cerdas yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkannya untuk menjadi pendamping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam mengemban amanah risalah yang akan menjadi penyejuk mata dan pelipur lara bagi diri beliau. Suatu hari Jibril memperlihatkan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) gambar Aisyah pada secarik kain sutra berwarna hijau sembari mengatakan, “Ia adalah calon istrimu kelak, di dunia dan di akhirat.” (HR. At-Tirmidzi (3880), lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi (3041))

Selain menjadi seorang pendamping setiap yang selalu siap memberi dorongan dan motivasi kepada suami tercinta di tengah beratnya medan dakwah dan permusuhan dari kaumnya, Aisyah juga tampil menjadi seorang penuntut ilmu yang senantiasa belajar dalam madrasah nubuwwah di mana beliau menimba ilmu langsung dari sumbernya. Beliau tercatat termasuk orang yang banyak meriwayatkan hadits dan memiliki keunggulan dalam berbagai cabang ilmu di antaranya ilmu fikih, kesehatan, dan syair Arab. Setidaknya sebanyak 1.210 hadits yang beliau riwayatkan telah disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim dan 174 hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhari serta 54 hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim. Sehingga pembesar para sahabat kibar tatkala mereka mendapatkan permasalahan mereka datang dan merujuk kepada Ibunda Aisyah.

KEDUDUKAN AISYAH DI SISI RASULULLAH

Suatu hari orang-orang Habasyah masuk masjid dan menunjukkan atraksi permainan di dalam masjid, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Aisyah, “Wahai Humaira, apakah engkau mau melihat mereka?” Aisyah menjawab, “Iya.” Maka Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di depan pintu, lalu aku datang dan aku letakkan daguku pada pundak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku tempelkan wajahku pada pipi beliau.” Lalu ia mengatakan, “Di antara perkataan mereka tatkala itu adalah, ‘Abul Qasim adalah seorang yang baik’.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan, “Apakah sudah cukup wahai Aisyah?” Ia menjawab: “Jangan terburu-buru wahai Rasulullah.” Maka beliau pun tetap berdiri. Lalu Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi lagi pertanyaannya, “Apakah sudah cukup wahai Aisyah?” Namun, Aisyah tetap menjawab, “Jangan terburu-buru wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aisyah mengatakan, “Sebenarnya bukan karena aku senang melihat permainan mereka, tetapi aku hanya ingin memperlihatkan kepada para wanita bagaimana kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadapku dan kedudukanku terhadapnya.” (HR. An-Nasa’i (5/307), lihat Ash Shahihah (3277))

CANDA NABI KEPADA AISYAH

Aisyah bercerita, “Suatu waktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk menemuiku sedang aku tengah bermain-main dengan gadis-gadis kecil.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, “Apa ini wahai Aisyah.” Lalu aku katakan, “Itu adalah kuda Nabi Sulaiman yang memiliki sayap.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa. (HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat (8/68), lihat Shahih Ibnu Hibban (13/174))

Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamberlomba lari dengan Aisyah dan Aisyah menang. Aisyah bercerita, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberlari dan mendahuluiku (namun aku mengejarnya) hingga aku mendahuluinya. Tetapi, tatkala badanku gemuk, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak lomba lari lagi namun beliau mendahului, kemudian beliau mengatakan, “Wahai Aisyah, ini adalah balasan atas kekalahanku yang dahulu’.” (HR. Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 23/47), lihat Al-Misykah (2.238))

KEUTAMAAN-KEUTAMAAN AISYAH

Banyak sekali keutamaan yang dimiliki oleh Ibunda Aisyah, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan dalam sabdanya:

“Orang yang mulia dari kalangan laki-laki banyak, namun yang mulia dari kalangan wanita hanyalah Maryam binti Imron dan Asiyah istri Fir’aun, dan keutamaan Aisyah atas semua wanita sepeerti keutamaan tsarid atas segala makanan.” (HR. Bukhari (5/2067) dan Muslim (2431))

Beberapa kemuliaan itu di antaranya:
Pertama: Beliau adalah satu-satunya istri Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinikahi tatkala gadis, berbeda dengan istri-istri Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain karena mereka dinikahi tatkala janda.

Aisyah sendiri pernah mengatakan, “Aku telah diberi sembilan perkara yang tidak diberikan kepada seorang pun setelah Maryam. Jibril telah menunjukkan gambarku tatkala Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam diperintah untuk menikahiku, beliau menikahiku tatkala aku masih gadis dan tidaklah beliau menikahi seorang gadis kecuali diriku, beliau meninggal dunia sedang kepalanya berada dalam dekapanku serta beliau dikuburkan di rumahku, para malaikat menaungi rumahku, Al-Quran turun sedang aku dan beliau berada dalam satu selimut, aku adalah putri kekasih dan sahabat terdekatnhya, pembelaan kesucianku turun dari atas langit, aku dilhairkan dari dua orang tua yang baik, aku dijanjikan dengna ampunan dan rezeki yang mulia.” (Lihat al-Hujjah Fi Bayan Mahajjah (2/398))

Kedua: Beliau adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan wanita.

Suatu ketika Amr bin al-Ash bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah.” “Dari kalangan laki-laki?” tanya Amr. Beliau menjawab, “Bapaknya.”(HR. Bukhari (3662) dan Muslim (2384))

Maka pantaskah kita membenci apalagi mencela orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!! Mencela Aisyah berarti mencela, menyakiti hati, dan mencoreng kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Na’udzubillah.

Ketiga: Aisyah adalah wanita yang paling alim daripada wanita lainnya.

Berkata az-Zuhri, “Apabila ilmu Aisyah dikumpulkan dengna ilmu seluruh para wanita lain, maka ilmu Aisyah lebih utama.” (Lihat Al-Mustadrak Imam Hakim (4/11))

Berkata Atha’, “Aisyah adalah wanita yang paling faqih dan pendapat-pendapatnya adalah pendapat yang paling membawa kemaslahatan untuk umum.” (Lihat al-Mustadrok Imam Hakim (4/11))

Berkata Ibnu Abdil Barr, “Aisyah adalah satu-satunya wanita di zamannya yang memiliki kelebihan dalam tiga bidang ilmu: ilmu fiqih, ilmu kesehetan, dan ilmu syair.”

Keempat: Para pembesar sahabat apabila menjumpai ketidakpahaman dalam masalah agama, maka mereka datang kepada Aisyah dan menanyakannya hingga Aisyah menyebutkan jawabannya.

Berkata Abu Musa al-Asy’ari, “Tidaklah kami kebingungan tentang suatu hadits lalu kami bertanya kepada Aisyah, kecuali kami mendapatkan jawaban dari sisinya.” (Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi (3044))

Kelima: Tatkala istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi pilihan untuk tetap bersama Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dengna kehidupan apa adanya, atau diceraikan dan akan mendapatkan dunia, maka Aisyah adalah orang pertama yang menyatakan tetap bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimanapun kondisi beliau sehingga istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain mengikuti pilihan-pilihannya.

Keenam: Syari’at tayammum disyari’atkan karena sebab beliau, yaitu tatkala manusia mencarikan kalungnya yang hilang di suatu tempat hingga datang waktu Shalat namun mereka tidak menjumpai air hingga disyari’atkanlah tayammum.

Berkata Usaid bin Khudair, “Itu adalah awal keberkahan bagi kalian wahai keluarga Abu Bakr.” (HR. Bukhari (334))

Ketujuh: Aisyah adalah wanita yang dibela kesuciannya dari langit ketujuh.

Prahara tuduhan zina yang dilontarkan orang-orang munafik untuk menjatuhkan martabat Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam lewat istri beliau telah tumbang dengan turunnya 16 ayat secara berurutan yang akan senantiasa dibaca hingga hari kiamat. Allah Subhanahu wa Ta’ala mempersaksikan kesucian Aisyah dan menjanjikannya dengan ampunan dan rezeki yang baik.

Namun, karena ketawadhu’annya (kerendahan hatinya), Aisyah mengatakan, “Sesungguhnya perkara yang menimpaku atas diriku itu lebih hina bila sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tetnangku melalui wahyu yang akan senantiasa dibaca.” (HR. Bukhari (4141))

Oleh karenanya, apabila Masruq meriwayatkan hadits dari Aisyah, beliau selalu mengatakan, “Telah bercerita kepadaku Shiddiqoh binti Shiddiq, wanita yang suci dan disucikan.”

Kedelapan: Barang siapa yang menuduh beliau telah berzina maka dia kafir, karena Al-Quran telah turun dan menyucikan dirinya, berbeda dengan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain.

Kesembilan: Dengan sebab beliau Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyari’atkan hukuman cambuk bagi orang yang menuduh wanita muhShanat (yang menjaga diri) berzina, tanpa bukti yang dibenarkan syari’at.

Kesepuluh: Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, Beliau memilih tinggal di rumah Aisyah dan akhirnya Beliau pun meninggal dunia dalam dekapan Aisyah.

Berkata Abu Wafa’ Ibnu Aqil, “Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih untuk tinggal di rumah Aisyah tatkala sakit dan memilih bapaknya (Abu Bakr) untuk menggantikannya mengimami manusia, namun mengapa keutamaan agung semacam ini bisa terlupakan oleh hati orang-orang Rafidhah padahal hampir-hampir saja keutamaan ini tidak luput sampaipun oleh binatang, bagaimana dengan mereka…?!!”

Aisyah meninggal dunia di Madinah malam selasa tanggal 17 Ramadhan 57 H, pada masa pemerintahan Muawiyah, di usianya yang ke 65 tahun, setelah berwasiat untuk dishalati oleh Abu Hurairah dan dikuburkan di pekuburan Baqi pada malam itu juga. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’alameridhai Aisyah dan menempatkan beliau pada kedudukan yang tinggi di sisi Rabb-Nya. Aamiin.

Mutiara Teladan
Beberapa teladan yang telah dicontohkan Aisyah kepada kita di antaranya:

Perlakuan baik seorang istri dapat membekas pada diri suami dan hal itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi seorang suami yang akan selalu ia kenang hingga ajal menjemputnya.Hendaklah para wanita menjaga mahkota dan kesuciannya, karena kecantikan dan keelokan itu adalah amanah Allah Subhanahu wa Ta’alayang harus senantiasa ia jaga dan tidaklah boleh dia peruntukkan kecuali kepada yang berhak atasnya.Hendaklah para istri mereka belajar dan mencontoh keShalihan suaminya. Istri, pada hakikatnya adalah pemimpin yang di tangannya ada tanggung jawab besar tentang pendidikan anak dan akhlaknya, karena ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.

Wallahu A’lam.

Sumber: Majalah Al-Furqon, Edisi 06 Tahun kiadhan 


ABUL ASH BIN RABI' AL-ABSYAMI AL-QURAISYI, MENANTU KEPERCAYAAN RASULULLAH

      Abul Ash bin Rabi' Al-Absyami Al-Quraisyi adalah seorang pemuda kaya, rupawan dan mempesona setiap orang yang memandangnya. Dia bergelimang dalam kenikmatan, dengan status sosial yang tinggi sebagai bangsawan.

Ia mewarisi dari kaum Quraiys bakat dan keterampilan berdagang pada dua musim; musim dingin dan musim panas. Kendaraannya tidak pernah berhenti pergi dan pulang antara Makkah dan Syam. Kafilahnya mencapai 200 orang personil dan 100 ekor unta. Masyarakat menyerahkan harta mereka kepadanya untuk diperdagangkan.

Khadijah binti Khuwailid, isti Rasulullah, adalah bibi Abul Ash. Khadijah menganggapnya seperti anak kandung sendiri. Ia ditempatkan di rumahnya dengan penuh kasih sayang. Begitu juga kasih sayang Rasulullah tidak kurang dari sayang Khadijah.

Setelah cukup usia, Abul Ash menikah dengan Zainab, putri Rasulullah. Namun ketika beliau menerima wahyu dan diutus sebagai Rasul, Abul Ash enggan beriman. Ia tetap setia dengan agama nenek moyangnya. Walau demikian, ia tetap mencintai istrinya, Zainab binti Muhammad SAW.

Ketika pertentangan antara Rasulullah dan kaum kafir Quraiys semakin meningkat, mereka saling menyalahkan sesamanya. Mereka meminta Abul Ash menceraikan Zainab dan mengembalikannya kepada orang tuanya. Namun Abul Ash menolak, ia tetap mencintai istrinya dan tak mau menceraikannya.

Sementara itu, dua orang putri Rasulullah yang lain; Ruqayyah dan Ummu Kultsum telah dicerai oleh suami masing-masing. Rasulullah gembira menerima kembalinya dua orang putrinya itu. Bahkan beliau berharap Abul Ash melakukan hal yang sama terhadap Zainab. Namun beliau tak kuasa untuk memaksakan keinginannya. Apalagi waktu itu, hukum Islam belum mengharamkan perkawinan wanita mukminah dengan pria musyrik.

Setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, kaum Quraiys memerangi beliau di Badar. Abul Ash terpaksa ikut berperang di pihak Quraiys, memerangi Rasulullah dan kaum Muslimin. Atas pertolongan Allah, kaum Muslimin menang di Badar, dan Abul Ash pun menjadi tawanan.

Rasulullah mewajibkan setiap tawanan menebus diri mereka jika ingin bebas. Beliau menetapkan besar uang tebusan itu antara 1.000-4.000 dirham, sesuatu dengan kedudukan dan kekayaan sang tawanan di kaumnya. 

Zainab juga mengirim utusan ke Madinah untuk menebus suaminya. Dalam uang tebusan yang ia kirim terdapat sebuah kalung pemberian ibunya, Khadijah binti Khuwailid. 

Melihat kalung itu, wajah Rasulullah berubah sedih. Beliau menoleh kepada para sahabat seraya berkata, "Harta ini dikirim Zainab untuk menebus suaminya, Abul Ash. Jika kalian setuju, kuharap bebaskan tawanan itu tanpa uang tebusan. Uang dan harta Zainab kirimkan kembali kepadanya!"

"Baik, ya Rasulullah," jawab para sahabat.

Rasulullah membebaskan Abul Ash dengan syarat dia segera mengantarkan Zainab kepada beliau. Maka ketika tiba di Makkah, Abul Ash segera mempersiapkan diri untuk memenuhi janjinya kepada Rasulullah. Ia memerintahkan istrinya agar bersiap-siap melakukan perjalanan jauh ke Madinah. Para utusan Rasulullah menunggu tidak jauh di luar kota Makkah. 

Setelah berpisah dengan istrinya, Abul Ash tetap tinggal di Makkah hingga menjelang pembebasan kota Makkah. Dia tetap berdagang ke Syam seperti yang biasa dilakukannya.

Pada suatu hari dalam perjalanan pulang ke Makkah, kafilahnya dicegat oleh pasukan patroli Rasulullah di tengah jalan dekat kota Madinah. Unta-unta dan barang muatan dirampas, para pengiringnya ditawan. Mujur bagi Abul Ash, ia berhasil lolos dan melarikan diri. 

Menjelang malam, ia memasuki kota Madinah dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati. Sampai di kota dia mendatangi rumah Zainab dan meminta perlindungan. Zainab pun melindunginya.

Tak lama kemudian Rasulullah menemui Zainab dan berkata, "Hormatilah Abul Ash. Tetapi ketahuilah, kamu tidak halal lagi baginya!"

Abul Ash dibebaskan oleh Rasulullah. Seluruh hartanya dikembalikan lagi. Ia pun berangkat ke Makkah, membawa kafilah dan barang dagangan kaum Quraiys. Sampai di Makkah ia melunasi semua kewajibannya kemudian berkata, "Wahai kaum Quraiys, adakah orang yang belum menerima pembayaran dariku?"

"Tidak. Semoga Tuhan memberi balasan kepadamu dengan balasan yang lebih baik," jawab mereka.

"Sekarang ketahuilah," kata Abul Ash. "Aku telah membayar hak kalian masing-masing. Maka kini dengarkan, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad sesungguhnya utusan Allah. Demi Allah, tidak yang menghalangiku untuk menyatakan berislam kepada Muhammad ketika berada di Madinah, kecuali kekhawatiranku seandainya kalian menyangka aku masuk Islam karena memakan harta kalian. Kini setelah Allah membayarnya kepada kalian semua dan tanggungjawabku telah selesai, aku menyatakan masuk Islam."

Abu Ash keluar dari Makkah dan menemui Rasulullah di Madinah. Beliau menyambut kedatangannya dan menyerahkan Zainab kembali padanya. Rasulullah bersabda, "Dia berbicara kepadaku, dan aku memercayainya. Dia berjanji kepadaku, dan dia memenuhi janjinya."

Sumber:101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni


ABU UBAIDAH BIN JARRAH, ORANG KUAT YANG TERPERCAYA

Suhefriandi

Rasulullah saw pernah bersabda yang maksudnya, “Setiap umat mempunyai sumber  kepercayaan, sumber kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.” Itulah penghargaan bintang mahaputra yang diterima oleh Abu Ubaidah dari Rasulullah SAW. Penghargaan yang tidak diberikan Rasulullah kepada sahabat yang lainnya.

Nama lengkapnya adalah Amir bin Abdullah bin al-Jarah bin Hilal al-Fahry al-Qursy, biasanya dipanggil dengan sebutan Abu Ubaidillah. Dia adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang berasal dari kaum Quraisy. Lahir di Makkah dari sebuah keluarga yang terhormat. Abu Ubaidah adalah seorang yang berperawakan tinggi, kurus, dan tidak terlalu berisi. Jenggotnya tidak tebal. Orangnya pemurah dan sederhana. berwibawa, bermuka ceria, rendah diri dan sangat pemalu. Dia juga termasuk orang yang berani ketika dalam kesulitan. Meski seorang yang pemalu dia disenangi oleh semua orang yang melihatnya, sehingga siapapun yang mengikutinya akan merasa tenang.

MASUK ISLAMNYA ABU UBAIDAH

Abu Ubaidah termasuk orang yang pertama-tama masuk lslam. Keislamannya selang sehari setelah Abu Bakar atau sehari sebelum Abdurrahman bin Auf memeluk lslam. Masuknya Abu Ubaidah ke dalam ajaran Islam adalah berkat peran dari Abu Bakar Al-Shiddiq. Karena dia telah berteman dan mengenal sejak lama shahabat Abu Bakar, sehingga tidak sulit bagi Abu Ubaidah untuk menerima ajakan Abu Bakar untuk mempercayai ajaran baru yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

Suatu ketika ia sadar dan memahami apa yang dimaksudkan Abu Bakar terhadap dirinya. Akhirnya dia berangkat bersama Abdurrahman bin ‘Auf, Ustman bin Maz’un dan Arqam bin Abi Arqam untuk menemui Rasulullah SAW. Di depan Rasulullah SAW mereka sama-sama mengucapkan kalimat syahadah.

Sebagaimana sahabat yang lain, keislaman Abu Ubaidillah juga tidak lepas dari tantangan dan siksaan dari orang-orang kafir Quraisy, meski dia berasal dari keluarga yang cukup terhormat di mata kaum Quraisy. Ayahnya sendiri sangat menentang keputusannya untuk meninggalkan ajaran nenek moyangnya. Dia terus menerus dibujuk oleh ayahnya untuk kembali kepada ajarannya semula, hingga ayah Abu Ubaidah mempersempit ruang geraknya. Tetapi semua cobaan dapat dilalui dengan sabar dan tawakkal kepada Allah SWT.

Abu Ubaidah menjadi sahabat kesayangan dan kepercayaan Rasulullah SAW. Bahkan dia termasuk satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga dalam sebuah hadits Rasulullah SAW.

“Dari Abdurrahman bin ‘Auf, dia berkata: Rasulullah bersabda: Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Az Zubair di surga, Abdurrahman bin ‘Auf di surga, Sa’d di surga, Sa’id di surga, dan Abu Ubaidah ibnul Jarrah di surga.” [HR At Tirmidzi (3747), hadits shahih.]

ABU UBAIDAH DALAM PERANG BADAR DAN PEMBUKTIAN KEIMANANNYA MELEBIHI KELUARGANYA

Perang pertama antara kaum muslimin dan kaum kafir, perang Badar, menjadi ujian pertama bagi kualitas keimanannya. Selaku tentara, tentu saja dia harus senantiasa patuh kepada perintah panglimanya, yaitu Rasulullah saw. Sementara sebagai seorang mukmin, dia berkeyakinan bahwa semua yang berperang di bawah panji Rasulullah adalah saudara dan keluarganya, meskipun mereka berbeda asal-usul dan warna kulitnya.

Sebaliknya, semua yang berperang di bawah bendera Quraisy atau sekutu mereka adalah musuhnya, meskipun mereka adalah keluarga terdekatnya. Maka ketika dilihatnya sang ayah yang kafir berada dalam barisan tentara Quraisy, jiwanya bergejolak. Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat ayahnya memerangi dan membunuhi saudara-saudaranya seiman. Pergolakan batin antara dirinya sebagai seorang anak dan dirinya sebagai seorang mukmin memaksanya untuk memutuskan sikap. Maka majulah ia menghampiri ayahnya, dan menghadapinya sebagai seorang musuh yang patut diperangi. Dengan keyakinannya, dia mengambil sikap sebagai seorang mukmin sejati yang memandang tali persaudaraan dan kekerabatan dari sudut pandang yang benar.

“Wahai ayah,” seru Abu Ubaidah begitu kudanya mendekati kuda ayahnya.”Bertobatlah. Sadarilah bahwa jalan yang engkau tempuh itu adalah jalan yang sesat. lkutlah bersamaku, dan jadilah keluargaku dalam iman.”

‘Anak kurang ajar! Bukan untuk ini kau kubesarkan. Sungguh, jika aku tahu akan begini jadinya, sudah sejak dulu kau kubunuh. Dasar anak durhaka!” Teriak ayahnya sambil terus menghantamkan pedangnya.

“Kalau ayah tidak mau menuruti nasihatku, maka maafkan saya jika terpaksa melawan ayah.” Kata Abu Ubaidah masih dengan nada yang lembut.

‘Apa?! Kamu menantangku? Dasar anak tak tahu diuntung! Ayo maju, biar sekalian kupenggal kepalamu seperti teman-temanmu!”

Maka Abu Ubaidah pun menerjang bagai banteng terluka. Dihantamkannya pedang di tangannya tanpa ragu-ragu. Ayah dan anak itu bertempur layaknya dua orang musuh yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah. Keduanya saling memukul, menangkis, dan kadang menusukkan pedang masing-masing. Pelan tapi pasti, Abu Ubaidah dapat mendesak ayahnya. Akhirnya, setelah pertempuran itu berlangsung beberapa saat, Abu Ubaidah berhasil merobohkan ayahnya.

“Maafkan saya, ayah.” Kata Abu Ubaidah Iirih sambil menatap tubuh ayahnya yang terkapar bersimbah darah.

Sedih, pasti. Sebab, bagaimanapun juga laki-laki yang baru saja dirobohkannya itu ayahnya, orang yang pernah mengasuh dan membesarkannya. Tetapi apa mau dikata, peperangan ini adalah perang akidah, dan ayahnya berada di pihak musuh yang memerangi saudara-saudaranya seiman.

Tindakan Abu ubaidah yang luar biasa itu mengundang turunnya wahyu dari langit, sebagaimana tersurat di dalam Al-Qur’an:

“Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-orang yang dalam hatinya telah ditanamkan Allah keimanan dan Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari Dia. Lalu dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Merekalah golongan Allah. lngatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung.” (Q.S. al-Mujadilah [58]: 22)

ABU UBAIDAH DALAM PERANG UHUD

Pada peperangan berikutnya, perang Uhud, Abu Ubaidah semakin menunjukkan kualitas imannya. Dialah orang yang merelakan tubuhnya dijadikan sebagai perisai untuk melindungi Nabi saw. dari senjata musuh.

Ketika pasukan muslimin kocar-kacir dan banyak yang lari meninggalkan pertempuran, Abu Ubaidah justru berlari menghampiri Rasulullah saw. karena melihat beliau dalam bahaya. Abu Ubaidah tidak memperdulikan keselamatan dirinya, dan sama sekali tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun terhadap banyaknya lawan dan rintangan, Rasulullah saw. sendiri memang dalam bahaya. Bahkan beliau terluka parah. Di pipinya terhunjam dua rantai besi penutup kepala beliau yang melesak terhantam senjata lawan.

Melihat itu, Abu Ubaidah segera berusaha untuk mencabut rantai tersebut dari pipi Rasulullah SAW dengan menggunakan giginya. Digigitnya rantai itu sampai akhirnya terlepas dari pipi Rasulullah SAW. Namun, bersamaan dengan itu, satu gigi seri Abu Ubaidah ikut terlepas dari tempatnya. Abu Ubaidah tidak jera. Diulanginya sekali lagi untuk mengigit rantai besi satunya yang masih menancap di pipi Rasulullah hingga terlepas. Kali ini pun satu gigi serinya harus lepas, sehingga dua gigi seri Abu Ubaidah ompong karenanya. Tindakannya itu membuat Rasulullah sangat terharu dan merasa bangga kepadanya.

Saat itu Abu Bakar berkata, “Sebaik-baik gigi yang terputus, itulah gigi Abu Ubaidah bin Jarrah.”

KEPERCAYAAN RASULULLAH YANG TINGGI TERHADAP ABU UBAIDAH

Abu Ubaidillah mendapat julukan Aminul Ummah (Orang yang dipercaya bagi kaumnya) dan Amirul Umaro (pemimpin para pemimpin) dari Rasulullah SAW. Kepercayaan Rasulullah SAW. kepada Abu Ubaidah tidak hanya dalam urusan peperangan, tetapi juga dalam urusan keagamaan.

Suatu ketika, sekelompok orang Kristen Najran dari Yaman datang menyatakan keislaman mereka. Dalam kesempatan yang sama, mereka sekaligus meminta kepada Nabi agar dikirimi seorang guru untuk mengajarkan Al-Qur’an dan Sunnah serta seluk beluk agama lslam.

“Baiklah, saya akan kirimkan bersama kalian seseorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya.” Kata Rasulullah,

Pujian yang begitu tulus keluar dari mulut Rasulullah yang mulia itu membuat para sahabat yang mendengarnya terkesima. Mereka semua berharap pilihan Rasulullah jatuh pada dirinya, karena pujian tersebut merupakan pengakuan yang jujur dari seorang Rasul yang tidak diragukan lagi kebenarannya.

Mengenai peristiwa tersebut Umar bin Khattab bercerita:

“Sebenarnya aku tak pernah tertarik menjadi seorang amir, tetapi ketika Rasulullah mengucapkan hal itu, aku sangat tertarik dan berharap bahwa orang yang dimaksudkan Rasulullah itu adalah aku. Aku pun cepat-cepat berangkat ke masjid untuk salat zuhur. Seperti biasa, Rasulullah-lah yang mengimami para jamaah. Ketika kami selesai salat, Rasulullah menoleh ke kanan dan ke kiri, Maka aku pun mengulurkan badanku, berharap Rasulullah melihatku. Rasulullah memang melihatku, tetapi beliau masih melayangkan pandangannya mencari-cari seseorang. Ketika pandangan beliau tertumbuk pada Abu Ubaidah, wajah beliau tampak berseri-seri. Segera dipanggilnya Abu Ubaidah agar mendekat, lalu beliau bersabda ‘pergilah berangkat bersama mereka. Apabila nanti terjadi perselisihan di antara mereka, selesaikanlah dengan yang haq’. Maka berangkatlah Abu Ubaidah bersama orang-orang dari Yaman itu “

Itulah gambaran kepercayaan Rasulullah kepada Abu Ubaidah. Kepercayaan beliau itu terus terjaga hingga beliau wafat. Sepeninggal beliau pun, Abu Ubaidah tetap menjadi orang kepercayaan di masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Bahkan, sesaat setelah Rasulullah saw wafat, Umar bin Khattab bermaksud membaiatnya di Saqifah.

Umar berkata,

“Ulurkan tanganmu, wahai Abu Ubaidah, agar saya dapat membaiatmu. Sebab, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sungguh dalam setiap kaum terdapat orang kepercayaan, dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah’.”

tetapi dijawab dengan penuh zuhud oleh Abu Ubaidah,

“Saya tidak mungkin berani mendahului orang yang dipercayai oleh Rasulullah saw. menggantikan beliau menjadi imam kita ketika beliau sakit (maksudnya Abu Bakar ra.). Oleh sebab itu, sudah semestinyalah kita membaiatnya menjadi pemimpin kita sepeninggal Rasulullah saw.” jawab Abu Ubaidah.

Begitulah Abu Ubaidah, sahabat kepercayaan Rasulullah yang rendah hati. Pantaslah bila dia menjadi suri teladan bagi seluruh umat. Dia senantiasa memikul semua tanggung jawab dengan sifat amanah. Ketika Khalifah Abu Bakar memberinya jabatan mengurus keuangan negara, Abu Ubaidah pun menjadikan jabatan itu sebagai amanah yang dipikulnya dengan penuh tanggung jawab.

Ketika Umar bin Khattab sang khalifah hendak menghembuskan nafas terakhirnya, dia juga berkata:

“Seandainya Abu Ubaidillah bin Al-Jarrah masih hidup, niscaya aku menunjuknya sebagai penggantiku. Jika Rabbku bertanya kepadaku tentang dia, maka aku jawab, ‘Aku telah menunjuk kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya sebagai penggantiku.”

Abdullah bin Mas’ud, salah satu shahabat Rasulullah SAW juga sangat bangga dengannya. Dia berkata:

“Paman-pamanku yang paling setia sebagai sahabat Rasulullah saw cuma tiga orang. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah,”

ABU UBAIDAH MERAHASIAKAN PEMECATAN KHALID BIN WALID

Ketika pelaksanaan misi penyerbuan ke Syam (Suriah), Khalifah Abu Bakar menunjuknya sebagai panglima tertinggi. Akan tetapi dia tidak bersedia dan lebih memilih memimpin pasukan di Hims. Panglima perang ke Syam akhirnya dipegang oleh Khalid bin Walid. Pada perang Yarmuk menghadapi Heraklius, kaisar Romawi Timur, Abu Ubaidah menyerahkan tampuk pimpinan perang kepada Khalid bin Walid.

Saat Umar bin Khattab menjadi khalifah, jabatan panglima perang diserahkan kembali kepada Abu Ubaidah. Penggantian itu berbarengan dengan tengah berkecamuknya peperangan besar yang amat menentukan. Saat itu, Khalid bin Walid sedang memimpin pasukan muslimin dengan gagah berani. Maka dengan kebijaksanaannya, Abu Ubaidah meminta utusan Khalifah untuk merahasiakan berita tersebut kepada umum. Dia tidak serta merta mengambil alih tampuk pimpinan pasukan dari tangan Khalid bin Walid, melainkan merahasiakan haknya itu sambil tetap berperang di bawah komando sang panglima. Setelah kemenangan tercapai, barulah Abu Ubaidah menemui Khalid untuk menyerahkan surat dari Khalifah.

“Semoga Allah merahmatimu, wahai Abu Ubaidah. Mengapa engkau tidak menyampaikan kepadaku begitu surat ini datang?” tanya Khalid.

“Saya tidak ingin mematahkan ujung tombak Anda. Kita tahu, bukan kekuasaan dunia yang kita tuju, dan bukan untuk dunia pula kita beramal. Kita semua bersaudara karena Allah.” Demikian jawaban Abu Ubaidah, sebuah jawaban yang membuat Khalid semakin mengaguminya.

Setelah serah terima jabatan itu, kepemimpinan pasukan Muslimin beralih ke tangan Abu Ubaidah. Di bawah kepemimpinannya, pasukan Muslimin berhasil menaklukkan kota-kota di Suriah dan Palestina, antara lain Damaskus, Hims, Hama, Qisnisrin, al-Ladhiqiyah (Suriah), Haleb (Alleppo), Antiokia (Suriah), dan Baitulmakdis (Yerusalem). Abu Ubaidah bin Jarrah RA. ikut serta dalam semua peperangan kaum muslimin, bahkan selalu mempunyai andil besar dalam setiap peperangan tersebut. Salah satu jasa terbesarnya adalah penaklukan sebagian negeri Syam yang berhasil diraih pasukan Muslimin di bawah pimpinannya.

SIFAT ZUHUD ABU UBAIDAH

Abu Ubaidillah juga dikenal dengankezuhudannya.Dalam satu kisah disebutkan ketika Abu Ubaidillah menjabat sebagai seorang gubernur Syam. Umar bin Khattab sang khalifah pada saat itu hendak berkunjung ke rumahnya. ” Hai Abu Ubaidah, bolehkah aku datang ke rumahmu?” tanya Umar.

Jawab Abu Ubaidah, “Untuk apakah kau datang ke rumahku? Sesungguhnya aku takut kau tak kuasa menahan air matamu begitu mengetahui keadaanku nanti.”

Namun Umar memaksa dan akhirnya Abu Ubaidahpun mengizinkan Umar berkunjung ke rumahnya. Ketika Umar bin Khattab sampai di rumah Abu Ubaidillah, dia sangat terkejut. Ia mendapati rumah Sang Gubernur Syam kosong melompong. Tidak ada perabotan sama sekali. Melihat hal tersebut, kemudian Umar bertanya,

“Hai Abu Ubaidah, di manakah penghidupanmu? Mengapa aku tidak melihat apa-apa selain sepotong kain lusuh dan sebuah piring besar itu, padahal kau seorang gubernur?”, “Adakah kau memiliki makanan?” tanya Umar lagi.

Abu Ubaidah kemudian berdiri dari duduknya menuju ke sebuah ranjang dan memungut arang yang didalamnya. Umar pun meneteskan air mata melihat kondisi gubernurnya seperti itu.

Abu Ubaidah pun berujar, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sudah kukatakan tadi bahwa kau ke sini hanya untuk menangis.”

Umar berkata, “Ya Abu Ubaidah, banyak sekali di antara kita orang-orang yang tertipu oleh godaan dunia.”

Suatu ketika Umar mengirimi uang kepada Abu Ubaidah sejumlah empat ribu dinar. Orang yang diutus Umar melaporkan kepada Umar, “Abu Ubaidah membagi-bagi uang kirimanmu.” Kemudian Umar berkata, “Alhamdulillah, puji syukur kepada-Nya yang telah menjadikan seseorang dalam Islam yang memiliki sifat seperti dia.”

Begitulah Abu Ubaidah. Hidup baginya adalah pilihan. Ia memilih zuhud dengan kekuasaan dan harta yang ada di dalam genggamannya. Baginya jabatan bukan aji mumpung buat memperkaya diri. Tapi, kesempatan untuk beramal lebih intensif guna meraih surga.

ABU UBAIDAH WAFAT DAN NASIHATNYA MENJELANG KEMATIANNYA

Itulah mengapa ketika wabah penyakit taun merajalela di negari Syam, Khalifah Umar bin Khattab merasa khawatir akan keselamatan Abu Ubaidah. Beliau segera mengirim surat untuk memanggil Abu Ubaidah agar kembali ke Madinah. Saat itu Abu Ubaidah sedang berada di tengah-tengah pasukannya, bersama mereka menghadapi ancaman musuh dan wabah penyakit sekaligus. Maka ketika surat tersebut datang, Abu Ubaidah menyatakan keberatannya dengan mengirimkan surat balasan yang isinya,

 

“Wahai Amirul Mukminin, saya tahu bahwa Anda memerlukan saya sehingga Anda menyuruh saya pulang. Akan tetapi, seperti Anda ketahui, saya sedang berada di tengah-tengah pasukan muslimin. Saya tidak ingin menyelamatkan diri sendiri dari musibah yang menimpa mereka dan saya tidak ingin berpisah dari mereka sampai Allah sendiri menetapkan keputusan-Nya terhadap saya dan mereka. Oleh sebab itu, sesampainya surat saya ini, saya mohon dibebaskan dari rencana Baginda dan izinkanlah saya tinggal di sini.”

Setelah Khalifah Umar membaca surat itu, beliau menangis, sehingga para hadirin bertanya, ‘Apakah Abu Ubaidah sudah meninggal?” “Belum, akan tetapi kematiannya sudah di ambang pintu.” Jawab Umar sedih.

Kemudian Amirul mu’minin kembali menulis surat untuknya dan memerintahkannya untuk pergi meninggalkan kota ‘Amwas ke tempat yang disebut Al-Jabiyah, hingga semua pasukan tidak meninggal karenanya, lalu Abu Ubaidahpun mengikuti perintah Amirul mukminin, namun beliau tetap terserang penyakit kusta.

Menjelang kematiannya, Abu Ubaidah berpesan kepada pasukannya:

“Saya pesankan kepada kalian sebuah wasiat yang jika kalian terima, maka kalian akan selamat. Dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, berpuasalah di bulan Ramadan, berdermalah, tunaikanlah ibadah haji dan umrah, saling nasihat menasihatilah kalian, sampaikanlah nasihat kepada pemimpin kalian dan jangan suka menipunya. Janganlah kalian terpesona dengan keduniaan, sebab betapapun seseorang melakukan seribu upaya, dia pasti akan menemui ajalnya seperti saya ini. sungguh Allah telah menetapkan kematian untuk setiap manusia’ oleh sebab itu, semua orang pasti akan mati. Orang yang paling beruntung adalah orang yang paling taat kepada Allah dan paling banyak bekalnya untuk akhirat”‘

Kemudian Abu Ubaidah berpaling kepada Muadz bin Jabal ra. dan berkata kepadanya,

”Wahai Muadz! lmamilah salat mereka.”

Setelah itu Abu Ubaidah RA. pun menghembuskan nafasnya yang terakhir pada umur 58 tahun. Beliau dishalatkan oleh Mu’adz bin Jabal, dan dikebumikan di desa Baisan, Syam.

Sepeninggal Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal berpidato di hadapan kaum Muslimin, .

“Wahai sekalian kaum muslimin! Kalian sudah dikejutkan dengan berita kematian seorang pahlawan, yang demi Allah saya tidak menemukan ada orang yang lebih baik hatinya, lebih jauh pandangannya, lebih suka terhadap hari kemudian dan sangat senang memberi nasihat kepada semua orang dari beliau, oleh sebab itu doakanlah beliau, semoga kalian semua dirahmati Allah.”

Pada saat Umar bin Khaththab RA mendengar kematian Abu Ubaidah, dia memejamkan kedua matanya dalam keadaan penuh dengan air mata. Air mata pun mengalir, lalu dia membuka kedua matanya dalam kepasrahan. Ia memohonkan rahmat Allah untuk sahabatnya dalam keadaan air mata mengalir dari kedua matanya, air mata orang-orang shalih. Air mata mengalir karena kematian orang-orang yang shalih.

Pada suatu kesempatan Umar bin Khattab mengajukan pertanyaan kepada para sahabat, “Tunjukkan kepada saya cita-cita tertinggi kalian.” Salah seorang dari mereka mengacungkan tangan dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin sekiranya rumah ini penuh dengan emas, akan saya infakkan seluruhnya untuk jalan Allah.”

Umarpun mengulangi pertanyaannya, “Apa masih ada yang lebih baik dari itu?”, sahabat yang lainpun menjawab, “Wahai Amirul Mukminin sekiranya rumah ini dipenuhi dengan intan, emas dan permata, niscaya akan saya infakkan seluruhnya untuk Allah.” Umar bin Khattab kembali  mengajukan pertanyaan yang sama. Merekapun serentak menjawab, “Wahai Amirul Mukminin kami tidak tahu lagi apa yang terbaik dari itu.”

Umar bin Khathab kemudian menjelaskan, “Cita-cita yang terbaik adalah, seandainya ruangan ini Allah penuhi dengan pejuang muslim seperti Abu Ubaidah yang jujur, adil dan bijaksana.”

sumber : ceritaislami.net, dakwatuna, al-Basya, Abdurrahman Raf’at. 2010. Sosok Para Sahabat Nabi. Qisti Press.