Suhefriandi
Resonansi Jiwa "Kitab Fiqih Sunnah Dari Ayah
Di pagi yang cerah itu, Abdullah diantar oleh ayahnya masuk ke Pondok Pesantren Terpadu Serambi Mekkah. Pagi itu merupakan hari yang sangat bersejarah bagi ayah Abdullah , karena dia bisa mewujudkan keinginannya yang sangat kuat dan juga keinginan mendiang istrinya untuk menyekolahkan anak mereka di pondok pesantren, belajar ilmu agama islam.
Ratusan santri baru tampak sangat gembira. Sambil diantar orang tua masing-masing mereka menuju ke asrama yang telah ditentukan oleh pengurus asrama. Namun di pagi hari yang cerah itu Abdullah tampak murung dan tidak bersemangat. Hatinya penuh dengan gejolak, Bagi Abdullah hari itu merupakan hari yang sial dalam hidupnya, karena ayahnya menyekolahkannya ke pesantren, yang berarti hidup seperti di dalam penjara, hidup dengan berbagai macam bentuk aturan.
Ayah Abdullah menangkap kegelisahan itu di wajah anaknya, dia tahu bahwa anaknya tidak mau masuk pesantren. Namun ayah Abdullah tetap menaruh harapan. Ayah Abdullah terus berusaha untuk membesarkan hati anaknya.
Sambil memegang pundak anaknya, ayah Abdullah berkata. Abdullah, kamu belajar yang rajin ya nak, ayah harap kamu bisa betah belajar di pondok ini, belajar ilmu agama yang nanti bisa menjadi bekal hidupmu. Ayah yakin kamu tidak akan mengecewakan ayah, ayo nak tetap semangat.
Sekali lagi ayah Abdullah melihat wajah anaknya, Abdullah masih tampak murung. Dengan tersenyum, ayah Abdullah berkata, “Oh iya Abdullah , kemaren waktu ayah pulang kerja ayah menyempatkan diri untuk mampir ke toko buku. Di sana ayah melihat kitab berbahasa arab ini, kata penjaga tokonya, buku ini judulnya fiqih sunnah. Walaupun ayah tidak bisa membacanya, Ayah berharap, suatu saat nanti Abdullah bisa membacakannya untuk ayah. Ini Abdullah , ambillah nak.”
Abdullah masih tampak murung, kali ini dengan nada marah Abdullah berkata, “Ayah, Abdullah tidak mau sekolah di pesantren ayah, pokoknya Abdullah tidak mau sekolah di pondok pesantren.” Abdullah melepaskan semua emosinya yang terpendam. Abdullah pun menolak pemberian ayahnya.
"Ya sudah, kalau Abdullah tidak mau menerima pemberian ayah, biarlah ayah bawa pulang saja dulu kitab ini." Jawab ayah Abdullah sambil membesarkan hati.
Ayah Abdullah tidak menghiraukan permintaan anaknya. Dengan hati sedih, ayah Abdullah memasukkan kitab fiqih sunnah itu kedalam tas jinjing yang dibawanya. Abdullah masih tetap menampakkan muka murung. Sambil besungut-sungut Abdullah dibawa oleh Ayahnya menghadap bapak pimpinan pondok. Ayah Abdullah menitipkan anaknya kepada bapak pimpinan pondok agar Abdullah diperhatikan dan dididik ilmu agama.
Tak lama setelah itu, ayah Abdullah pamitan pulang kepada pimpinan pondok. Masih terlihat olehnya dari kejauhan wajah Abdullah yang murung. Namun dengan mengikhlaskan hati kepada Allah, ayah Abdullah mengucapkan -bismillah lalu melangkah menuju gerbang untuk meninggalkan pondok pesantren.
Selang beberapa lama terdengar hentakan keras. Beberapa orang melaporkan bahwa ayah Abdullah tertabrak mobil yang dikendarai oleh supir ugal-ugalan di jalan raya di depan pesantren. Tubuh ayah Abdullah terlempar beberapa meter. Dalam keadaan yang begitu panik ambulance didatangkan secepatnya.
Selama perjalanan menuju rumah sakit, ayah Abdullah sempat berbicara begitu lirih. " Abdullah.. Ayah senang kamu masuk pesantren nak, ….. Ayah dan Ibu sayang dengan Abdullah ." Darah segar terus keluar dari mulut ayah Abdullah, hingga ia tidak tertolong lagi ketika sesampainya di rumah sakit terdekat.
Kejadian hari itu begitu mengguncang hati nurani Abdullah, tidak ada lagi waktu tersisa untuk memenuhi permintaan ayahnya. Kini yang ada hanyalah sebuah penyesalan. Permintaan ayahnya yang sangat sederhana pun tidak dia penuhi. Masih segar terbayang dalam ingatan Abdullah, tangan ayahnya yang mengulurkan hadiah berupa kitab berbasa Arab gundul. Kini uluran tangan ayahnya itu terasa sangat berarti sekali.
Sore itu setelah tiga tahun berlalu, Abdullah berhasil meraih wisudawan terbaik. Namanya dipanggil nomor satu. Hatinya merasa senang, namun masih meninggalkan penyesalan yang begitu besar.
Di pojok asarama itu,Abdullah berdiri sendiri. Yang tersisa hanyalah keheningan dan kesunyian hati. Nasehat seorang ayah yang bijak begitu dirindukannya. Abdullah mulai membuka kitab fiqih sunnah yang diambilnya perlahan di kumpulan buku-buku di pojok lemarinya. Bukunya sudah tidak baru lagi. Sampulnya sudah usang dan koyak. Goresan tanda tangan ayahnya yang begitu sederhana masih tertera dengan tegar di sampul dalam kitab itu, seperti sebuah kenagan indah, dari ayah yang sederhana.
Abdullah menguatkan hati, dengan mata yang berkaca-kaca ia membuka halaman pertama dan membacanya dengan suara keras. Tampak sekali ia berusaha membacanya dengan keras. Ia terus membacanya dengan keras-keras. Halaman demi halaman. Dengan berlinang air mata , Abdullah berkata dengan lirih, “Ayah, dengan suara lirih Abdullah bacakan kitab ini untuk ayah."
Selang beberapa kata hatinya pun memohon lagi. "Ayah, Abdullah mohon maaf, Abdullah sayang ayah. Seakan setiap kata dalam kitab itu begitu menggores dalam lubuk hatinya. Tak kuasa menahan sakit, Abdullah bersujud dan menangis, memohon kepada Allah untuk diberi satu kesempatan lagi untuk mencintai dan berbakti kepada ayah.
Digubah dari Resonansi Jiwa "Jessica" .
Oleh Suhefriandi