Oleh : Suhefriandi, Sp.d. MM
( Balai Baru kampung Tangah Paninggahan)
I. Citra Geografis dan Astronomis Paninggahan
Karakteristik suatu daerah senantiasa mempengaruhi kehidupan masyarakatnya yang dapat ditinjau dari sejarah, tabiat dan watak perilakunya. Demikian pula halnya dengan masyarakat nagari Paninggahan di Kecamatan Junjung Sirih Kabupaten Solok Sumatera Barat .
Paninggahan berjarak 22 Km dari pusat Kabupaten Solok dan 91 Km dari kota Padang dimana pusat pemerintahan propinsi berada. Daerah yang berada disebelah Utara Kabupaten Solok ini dapat dicapai melalui beberapa pintu masuk. Pertama,dari pusat kabupaten atau kota Solok terus ke Sumani-Saningbakar-Muaro Pingai-Paninggahan atau kedua meneruskan perjalanan dari alternatif pertama itu sedikit berputar dan lebih jauh melalui Singkarak-Batutaba-Kacang-Omblin terus belok kiri di Simpang Payo-Malalo-Paninggahan. Begitupun kalau dari arah Padang-Pariaman atau Bukitinggi-Padangpanjang belok kanan di Simpang Payo-Malalo-Paninggahan. Berada dipinggir danau Singkarak dengan akses jalan melingkar menjadikan daerah Paninggahan dapat diterobos melalui beberapa arah pintu masuk tentunya. Dan kalau mau dan tersedia sarana transportasi air, untuk menuju Paninggahan dan daerah sekitarnya juga dapat dilakukan melalui jalur air Danau Singkarak.
Paninggahan memiliki luas wilayah 95,50 Km2 terbagi kedalam enam wilayh jorong; Subarang, Parumahan, Kotobaru-Tambak, Kampung Tangah, Gando dan Ganting Padangpalak. Wilayah seluas 95,50 Km2 itu dimanfaatkan untuk areal persawahan 579 ha dan lahan kritis 2.700 ha. Sisa lahan seluas 6.253 ha dapat diperkirakan pemanfaatannya sebagai pemukiman, ladang/huma, hutan rakyat/nagari, hutan negara, tebat/kolam/empang.
Paninggahan memiliki batas alami wilayah meliputi; sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar, Sebelah Timur Berbatasan dengan Danau Singkarak, sebelah Selatan dengan Muaro Pingai dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman.
Secara astronomis, daerah ini berada pada 0,310 – 1,450 LS, 100,250 – 101,410 BT. Bentangan alam yang bergelombang dengan hamparan bukit dari jajaran bukit barisan. Seperti wilayah lainnya di Indonesia yang beriklim tropis, Paninggahan berada pada ketinggian 400-600 meter diatas permukaan laut. Suhu udara menunjukkan sedang dengan temperatur 190 – 280C. Suhu rata-rata mencapai 220 C, dengan kelembaban rata-rata 83%.
Musim hujan di Paninggahan terjadi pada sekitar Maret – Juli, dan kemarau Februari. Sedangkan musim peralihan atau pancaroba Agustus – Oktober. Terlihat intensitas hujan lebih lama dari musim kemarau. Curah hujan relatif tinggi 1.484 mm/tahun, dengan rata-rata 231 mm/tahun.
Berada di sebelah Barat Laut, Paninggahan terletak lereng dan kaki diperbukitan, Junjung Sirih yang membentang ke arah Selatan. Sedangkan sebelah Barat terdapat bukit Batu Agung yang membentang ke Utara, arah daerah tetangga Malalo Tanah Datar. Jajaran bukit-bukit itu dan lainnya merupakan bagian dari jajaran bukit barisan. Jika diamati seolah-olah Paninggahan berada pada sebuah lembah yang cukup luas karena diapit oleh kedua bukit tersebut. Sementara sebelah Timur terhampar Danau Singkarak menjadi muara aliran berbagai sumber air.
Di Paninggahan terdapat beberapa aliran anak sungai dan sumber mata air. Namun satu-satunya sungai yang aktif mengalirkan air hingga ke danau Singkarak baik musim kemarau apalagi musim hujan adalah Batang Paninggahan. Batang Paninggahan melintasi sekaligus menjadi batas simbol alam antara dua Jorong Subarang dan Parumahan. Sumber mata air yang cukup besar dan aliran bahkan membentuk sebuah sungai kecil terletak di Jorong Kotobaru di Nagari Paninggahan Kecamatan Junjung Sirih Kabupaten Solok Sumatera Barat. Mata air yang melekat dengan sebutan lokal mato aia (mata air) atau kapalo aia (hulu air) ini terletak di pinggir desa, digaris pinggang bukit Junjung Sirih.
Kedua sumber daya air ini dapat dipastikan erat kaitannya dengan hutan bukit Junjung Sirih dan jajaran bukit lain dengan hutannya. Memang batang Paninggahan dan mata air (kapalo aia) berada dekat dan berhulu dari hutan jajaran bukit Junjung Sirih. Termasuk sungai yang mengalirkan air ke Muaro Pingai dan Saningbakar bergantung pada keadaan resapan air hutan di bukit tersebut. Meskipun sungai-sungai dan mata air mengalir ke tempat dan daerah yang berbeda, namun hulu air menunjukkan dari arah jajaran bukit dan hutan yang sama.
Kedua sumber air utama di Paninggahan itu dimanfaatkan untuk berbagai keperluan masyarakat. Pemanfataan aliran sungai Batang Paninggahan danmato/kapalo aia (mata air) terlihat sebagai sumber utama irigasi teknis dan pengairan tradisional lahan pertanian padi sawah sebagai usaha pertanian pokok penduduk. Untuk irigasi teknis dalam skala besar saja, batang Paninggahan terdapat dua unit yang hulunya teerletak di dusun Kotobasi. Pengairan teknis ini mengalirkan air ke lahan-lahan sawah yang terdapat di jorong Parumahan. Sedangkan irigasi yang satunya terletak hulunya di dusun Cacang-Batua mengalirkan air bagi sebagian besar areal persawahan di jorong Subarang. Itu belum terhitung pengairan tradisional yang jumlahnya puluhan dan memanfaatkan aliran sungai batang Paninggahan.
Sementara itu mato/kapalo aia (mata air) yang membentuk aliran sungai kecil mengalirkan air ke lahan-lahan pertanian sawah bagi jorong Kotobaru-Tambak, Gando, Kampung Tangah dan Ganting Padang Palak. Letak mato/kapalo aia (mata air) di jorong Kotobaru diketinggian dan debet airnya hampir tidak pernah berubah pada musim kemarau sekalipun menjadikan aliran dan distribusi airnya cukup luas kebeberapa tempat di Paninggahan. Bahkan mata air ini disalurkan dengan pipa dan pada jarak tertentu dipinggir-pingir jalan dibuat bak penampungan bagi keperluan air bersih penduduk. Belakangan juga dialirkan ke rumah-rumah penduduk dan dikelola oleh pemerintahan nagari setempat. Pemanfaatan lainnya adalah untuk kebutuhan sumber air minum, memasak, mandi dan mencuci, perikanan.
Dengan demikian keberadaan hutan di Paninggahan menjadi sangat menentukan dan mempengaruhi berbagai kebutuhan dan aktivitas kehidupan serta ekonomi pertanian masyarakat. Gangguan dan perusakan hutan di Paninggahan jelas akan memporak-porandakan berbagai sendi kehidupan masyarakatnya terutama yang bergantung sebagian besar pada lahan pertanian padi sawah.
Pemanfaatan khusus dan unik aliran sungai Batang Paninggahan adalah sebagai alahan. Banyak diantara kita tidak tahu apa itu alahan? Alahan bagi masyarakat Paninggahan bukan hal asing lagi. Meskipun alahan bilih dari danau Singkarak. Bagaimana proses dan metodenya?. Hanya diusahakan sebagian masyarakat dengan garis kerabatnya. Namun keberadaannya sejak lama dan erat kaitannya dengan metoda mengambil ikan langka
Menganggu hutan-hutan diperbukitan Paninggahan sama saja menciptakan kemiskinan bahkan kelaparan di ranah Paninggahan. Hutan daerah ini menjadi harapan bank air yang akan mengalirkan air pada dua saluran vital Sungai Batang Paninggahan dan Mata Air (kapalo aia).Menebang pohon, membakar hutan-hutan disana juga sama menciptakan kematian bagi banyak kehidupan.
Apalagi ekonomi pertanian sawah begitu dominan diusahakan disini. Bareh Solok yang terkenal karena kwalitas dan keunggulan-keunggulannya itu sebagian diproduksi di daerah Paninggahan tentunya. Dapat dikatakan daerah ini menjadi salah satu lumbung padi dan beras yang memasok kebutuhan lokal dan berbagai masyarakat di daerah lain, bahkan hingga keluar daerah.
II. Kearifan Lokal: 'Fatamorgana' Lasi, Inyiak Junjung Sirih Jaga Hutan Kami
Kita tentu masih ingat beberapa tahun lalu. Sebuah peristiwa yang menghebohkan dan meminta banyak perhatian, ketika napak tilas Gamawan Fauzi Bupati Solok saat itu (sekarang Menteri Dalam Negeri RI 2009-2014) dengan rombongan dinyatakan hilang ‘kelelep’ rimba. Dari manakah gerangan napak tilas itu dimulai da ke mana arah tujuan?
Yang jelas napak tilas itu berangkat dari Paninggahan menyusuri rancangan jalan tembus Paninggahan-Lubuk Minturun Padang.
Kalau soal jalan Paninggahan-Lubuk Minturun Padang beritanya sejak penulis masih ‘ingusan’ ditahun 1980-an sudah terdengar juga. Alhamdulillah sampai sekarang saat penulis berusia 33 tahun jalan itu juga tidak selesai-selesai. Kecuali dari ujung ke ujung, beberapa kilometer bukaan di Lubuk Minturun dan beberapa kilometer bukaan badan jalan di Paninggahan melintasi lereng bukit Junjung Sirih. Dapat dikatakan tak lebih juga dari jalan ladang. Itupun, usaha dan prestasi dari seorang Wali Nagari Ir. Bakar ketika itu lewat pertengahan sekitar tahun 2007 lalu.
Tapi kalau seandainya jalan raya Paninggahan-Lubuk Minturun itu hanya akan menjadi akses bagi para perambah dan pencuri hutan. Lebih baik jalan itu tidak perlu ada. Buat apa kalau hanya memperlancar jalur pengangkutan dan transportasi hasil perambahan atau pencurian kayu hutan bukit Junjung Sirih dan hutan jajaran bukit sekitarnya.
Berbagai spekulasi dan tanggapan masyarakat Paninggahan kalau terjadi peristiwa tersesat di rimba hutan Paninggahan dibukit Junjung Sirih. Peristiwa seperti yang dialami Gamawan Fauzi juga sering terjadi sebelum-sebelum, terutama orang-orang luar yang mencoba melintasi hutan, terutama mahasiswa pecinta alam atau masyarakat yang memasuki hutan lebih jauh. Ada yang mereka lupakan, dan lewati begitu saja. Bertanya pun tidak apalagi yang muda-muda dan datang dari luar lagi. Apa yang dimaksud masyarakat itu kalau sudah ada yang kelelep rimba Paninggahan?
Menurut keyakinan masyarakat Paninggahan, nenek moyang mereka dulu bermukim disalah satu sisi bukit Junjung Sirih itu dengan nama tempat Lasi. Di Bukit Junjung Sirih itu juga inyiak Junjung Sirih pengembang syiar Islam didaerah ini bermukim. Kapan waktunya belum diketahui. Tapi jangan salah diatas bukit ini terdapat bukti dan jejak peninggalan inyiak berupa mesjid yang sampai hari ini tetap berdiri. Disini juga terdapat makam inyiak Junjung Sirih.
Lasi dikatakan juga dapat ditemukan oleh orang-orang yang dikehendaki berupa tanda-tanda alam sebagai bekas perkampungan lama. Kalau ada yang dapat menjumpai keberadaan Lasi yang bak fatamorgana itu akan mendapati areal bekas persawahan, peralatan hidup yang digunakan orang-orang terdahulu berupa lesung, puing sisa-sisa kayu berupa bekas bangunan dan ladang-ladang serta kebun penduduk. Luar biasa memang dari cerita lisan dari mulut kemulut yang diwariskan turun temurun bagi masyarakat Paninggahan.
Lasi dan mesjid Inyiak Junjung Sirih, kapalo aia bagi masyarakat Paninggahan adalah tiga serangkai yang disakral dan keramatkan. Bersentuhan dengan kapalo aiaartinya bersentuhan dengan inyiak manusia keramat yang telah tiada itu diyakini bermukim secara gaib di kapalo aia(mata air) itu. Jadi jangan sesekali berbuat yang buruk, jahat dan tidak-tidak di tempat ini kalau tidak ingin dapat bala musibahnya. Masyarakat Paninggahan bahkan luar menjadikan tempat ini sebagai pelaksaan berbagai nazar/hajatan kala lepas dari masalah, musibah dan marabahaya. Atau tatkala ingin memulai, mendapatkan sesuatu maksud tujuan. Hajatan dan do’a digelar di kapalo aia, mandi-mandi disumber air nan jernih ini, lalu mengambil untuk diminum langsung dan dibawa pulang.
Begitu pula kalau bersentuhan dengan hutan, berarti akan bersentuhan dengan tiga serangkai sekaligus. Lasi bisa saja berwujud hutan yang akan menelan dan menghilagkan orang-orang yang berniat tidak baik, atau lupa dimana dia berada dengan sikap-sikap dan perilakunya. Inyiak Junjung Sirih sang tokoh gaib menegur bagi sikap-sikap, tindakan dan perilaku yang tidak ramah lingkungan.
Lasi, Inyiak Junjung Sirih masalalu yang nyata dan kini keberadaannya diyakini tetap eksis dalam keagaiban. Namun, ia mampu menjadi bagian dari pranata sosial masyarakat Paninggahan dalam bersikap dan memandang lingkungannya terutama hutan-hutan di bukit Junjung Sirih. Apalagi sangat disadari sumber daya air Paninggahan berpusat hulu dari sana. Semoga Lasi bak fatamorgana, Inyiak Junjung Sirih masalalu yang kini diyakini dalam kegaiban menjadi sumber kearifan agar kita mampu memperlakukan alam dan lingkungan hutan Paninggahan. Sehingga fungsinya sebagai resapan sekaligus bank air tetap mengalir untuk segala keberlangsungan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan.
III. Objek Objek Wisata di Paninggahan yang butuh Sentuhan.
A. Mato Aia
Mato Aia ( Mata Air ) seperti yang sudah penulis paparkan di atas, saat ini telah menjadi objek wisata lokal, bahkan pemerintah Kabupaten Solok telah memasukan objek wisata Mato Aia ini ke Agenda wisata Alam yang ada di dinas Pariwisata kabupaten Solok, Semua nya hanya butuh menunggu waktu, kerjasama dari masyarakat pemilik tanah di sekitar mato Aia agar pengembangan objek wisata Alam ini dapat secara maksimal di kembangkan dengan baik, sehingga memang betul betul menjadi sebuah objek wisata yang di kelola secara profesional...
Hal yang terpenting dalam langkah awal pembenahan MATO AIA sebagai anugerah luar biasa yang diberikan oleh Allah Ta'alla kepada Nagari Paninggahan ini adalah sebagai berikut :
- semua Masyarakat Paninggahan harus banyak banyak bersyukur.
- Jangan sampai ada konflik keluarga di atas tanah objek wisata mato Aia tersebut.
- Selalu jaga lah kealamian sekitar objek wisata Alami ini, agar selalu senantia Alami.
- Aturlah pendirian warung-warung sekitar pemandian Mata Air ini dengan baik, perhatikan unsur Etika dan Estetikanya..
- Masyarakat sekitar harus benar benar menyadari penting nya menjaga objek wisata ini dari berbagai perbuatan perbuatan yang bertentangan dengan nilai nilai kesopanan, sosial dan Agama ..
- masyarakat sekitar harus selalu memperhatikan perawatan tempat ini bersama sama, diantara nya.. penambahan pohon pohon, bunga bunga yang indah sekitar pemandian, di tata dengan baik, penambahan wahana wahana agar pengunjung lebih senang disana, yang terpenting sekali adalah pengelolaan sampah...
B. Puncak GAGOAN
Puncak Gagoan ini berada di tebing sangat tinggi, di antara pingiran 2 bukit yang berdekatan dan di batasi oleh sebuah sungai atau batang Air.. " Gagoan bermakna ( gagau, gamang, takut tinggi ) saking tinggi nya, kalau kita berada di atas puncak nya, maka seluruh danau singkarak akan tampak penuh dan jelas, seluruh wilayah di kecamatan junjung sirih tampak dengan jelas.. karna puncak gagoan ini terletak sangat tinggi, serta angin bertiup sangat kencang di daerah tersebut, daerah ini sangat lah cocok untuk wisata Terbang layang nasional maupun skala International. Let' visit Paninggahan
C. Mato Aia Siganjo Talago
Mato Aia Siganjo ini asal muasal kenapa di panggil dengan sebutan tersebut penulis belum mendapatkan informasi yang pasti, yang jelas tempat ini berada di jorong gando kenagarian Paninggahan kecamatan Junjung Sirih, tempatnya sangat indah sekali, mata air ini berada di kaki bukit junjung Sirih.. saat ini sudah di buatkan kolam yang sangat besar, tetapi arahan pembuatan kolam besar tersebut belum berorientasi pada pariwisata tetapi masih berorientasi pada irigasi untuk masyarakat. Let's visit Paninggahan.
D. Alahan Marabab
Alahan adalah sebuah tempat penangkapan ikan, sebuah tempat yang dibuat tempat penangkapan, pengolahan ikan, sedangkan Marabab itu nama pemilik Alahan tersebut, dahulu kami sangat senang sekali bermain main di alahan tersebut bersama sama dengan teman teman sebaya, disana sangat indah sekali, di Alahan tersebut ada sebuah Air terjun dengan ketinggian kurang kebih 4 Meter.. waah sangat indah, di samping Air terjun Tersebut ada sebuah tebing yang sangat tinggi dan di bawah nya ada goa alam yang sangat indah, sedangkan di depan alahan tersebut ada terbentang luas danau Singkarak.. Let's Visit Paninggahan..
E. Muaro Subarang dan Rumah Gadang
Seperti yang penulis pernah jelaskan di atas, bahwa tempat ini berada di muara batang Air subarang.. tempat ini merupakan tempat yang sangat indah, melihat para nelayan memanen ikan yang masuk kealahan mereka, hal tersebut menjadi sebuah pemandangan yang sangat indah kalai di dilihat dan di nikmati sambil bakar ikan di pinggir muara tersebut, masih di daerah subarang, disana terdapat sebuah rumah adat minang kabau yang sangat indah.. yaa bagus untuk tempat ber foto bersama keluarga disana.. let' visit Paninggahan
F. Wisata Agroforstri kopi Hulu Paninggahan
Paninggahan menyimpan cerita sejarah dalam perkembangan kopi di Sumatera Barat. Pada areal enclave seluas 1.050 ha yang berada di ketinggian 700 – 900 m dpl, lereng bukit utara Danau Singkarak inilah pertama kali kopi robusta diperkenalkan di Sumatera Barat.
Cerita berawal pada tahun 1826, saat Pemerintah Kolonial Belanda memulai program pembangunan perkebunan kopi di Nagari Paninggahan untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Menanggapi program tersebut, maka beberapa tokoh masyarakat Paninggahan menawarkan untuk membangun perkebunan kopi rakyat, dimana kopi yang diproduksi nantinya dijual kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Dengan pertimbangan bahwa pembangunan perkebunan rakyat lebih menguntungkan daripada membuat perkebunan pemerintah, baik dari segi dana, tenaga maupun waktu, maka usulan ini disetujui oleh Belanda sesua dengan tawaran yang diajukan oleh masyarakat Paninggahan saat itu.
Pada awal program, setiap pasangan ang baru menikah di daerah Paninggahan diwajibkan membuka lahan seluas dua hektar untuk menanam kopi robusta pada areal hutan di daerah hulu (Ulu) dan hingga saat ini perkebunan tersebut dikenal sebagai Perkebunan Kopi Ulu.
Perkebunan kopi yang dibangun oleh masyarakat. Paninggahan menghasilkan kopi robusta berkualitas tinggi, sehingga pada perkembangannya Pemerintah Kolonial Belanda melakukan monopoli terhadap hasil Perkebunan Kopi Ulu tersebut. Datuk Bungsu, salah satu tokoh masyarakat di Paninggahan menuturkan “Ketika itu pemerintah Belanda melarang keras setiap masyarakat untuk memanfaatkan dan mengkonsumsi kopi dari hasil panen mereka sendiri. Seluruh biji kopi yang sudah dipanen, wajib diserahkan kepada Belanda untuk selanjutnya dikirim keluar Sumatera Barat.
Masyarakat Paninggahan hanya diperbolehkan memanfaatkan daun kopi saja kalau mereka ingin merasakan minum kopi. Masyarakat terpaksa minum kopi yang berasal dari daun kopi yang dikeringkan. Kami menyebutnya kopi daun. Hingga saat ini pun, sebagian dari kami masih suka mengkonsumsi kopi daun”.
Akibat pelarangan tersebut, maka timbul reaksi penolakan masyarakat Paninggahan terhadap keberadaan perkebunan kopi Belanda. Pada tanggal 21 Juni 1932, diadakanlah rapat nagari yang dipimpin oleh tokoh masyarakat (ninik mamak) setempat yang menghasilkan sebuah surat untuk ditujukan kepada Majelis Volksraad di Batavia agar Perkebunan Kopi Ulu dikembalikan kepada masyarakat. Dua tahun berselang, permintaan tersebut dikabulkan oleh Pemerintah Belanda melalui surat keputusan No.649/B/1934, sehingga areal Perkebuan Kopi Ulu resmi kembali menjadi milik masyarakat Paninggahan.
Namun sayang, perkembangan Kopi Ulu selanjutnya tidak semulus yang diharapkan. Semakin lama popularitas Kopi Ulu di kalangan masyarakat Paninggahan mulai menurun, terutama pada periode 1950-1965. Hal ini disebabkan karena banyaknya aktivitas pemberontakan di masa itu sehingga menimbulkan ketakutan bagi sebagian besar petani untuk menggarap lahan perkebunan kopi mereka. Kondisi tersebut diperburuk dengan harga kopi yang cenderung tidak menentu dan tingginya biaya produksi; keuntungan dari kopi yang dihasilkan jauh lebih sedikit dibandingkan biaya produksi yang dikeluarkan. Hal-hal tersebut akhirnya membuat para petani tidak lagi termotivasi untuk mengelola lahan mereka, dan akhirnya Perkebunan Kopi Ulu inipun ditinggalkan.
Saat ini perubahan besar terjadi, harga kopi dunia cenderung berada pada harga yang cukup stabil dan terus menjanjikan. Minum kopi sudah menjadi salah satu gaya hidup masyarakat dunia. Melihat perkembangan tersebut, para petani dari Nagari Paninggahan memiliki keinginan untuk melakukan revitalisasi kawasan kopi Ulu yang telah puluhan tahun ditinggalkan. Merekapun mengusulkan ide ini kepada ICRAF melalui program RUPES (Rewarding Upland Poor for the Environmental Services They Provide).
Pada tahun 2009, RUPES bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Balitkoka), merancang suatu program revitalisasi melalui dua pendekatan, yakni peningkatan produktivitas kopi robusta dan peningkatan nilai tambah berupa kopi robusta organik. Kegiatan utama adalah rehabilitasi pohon-pohon kopi yang tidak dan kurang produktif dengan cara sambung menggunakan entres tanaman kopi unggul lokal. Namun sangat disayangkan, program ini terpaksa berhenti di tengah jalan karena timbulnya permasalahan terkait kepastian status lahan.
Masalah tersebut mengemuka ketika Dinas Kehutanan Sumatera Barat, menyatakan bahwa daerah ‘enclave’ tersebut tidak lagi menjadi milik masyarakat, tetapi milik pemerintah berdasarkan hasil pengukuran tata batas tahun 1999. Meskipun demikian, menurut pengakuan masyarakat, pihak Dinas Kehutanan setempat tidak melibatkan masyarakat ketika menentukan tata batas, sehingga wajar apabila hal ini tidak diketahui oleh masyarakat, sebelum akhirnya muncul program revitalisasi ini. Kondisi ini menyebabkan reaksi penolakan oleh masyarakat mengingat mereka tidak pernah diberitahu sebelumnya dan dengan pertimbangan bahwa selama puluhan tahun mereka sudah mengelola daerah tersebut.
Disisi lain, mengingat statusnya sebagai lembaga penelitian internasional di bawah naungan Kementrian Kehutanan, ICRAF dan juga program RUPES harus menunggu kejelasan status lahan sebelum melanjutkan program revitalisasi ini. Hal ini menyebabkan program tersebut terhenti selama empat tahun.
Pada Bulan Juli 2011, Kementerian Kehutanan melalui SK Menteri Kehutanan No.304/Menhut-II/2011 menyetujui perubahan status beberapa kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain (APL) pada beberapa lokasi di Sumatera Barat. Areal enclave Kopi Ulu termasuk di dalamnya. Menyikapi hal ini, ICRAF bersama-sama dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Solok dan pemerintah Nagari Paninggahan berinisiatif untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat Paninggahan dalam bentuk lokakarya sehari dengan tema: “ Sosialisasi status penggunaan lahan menuju revitalisasi lahan kebun Kopi Ulu sebagai bentuk pengelolaan hutan lestari bersama masyarakat di Nagari Paninggahan”. Lokakarya ini bertujuan untuk mensosialiasikan status lahan perkebunan Kopi Ulu.
Kepada masyarakat Nagari Paninggahan berikut dengan aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan lahan dan kawasan hutan. Selain itu, lokakarya ini juga mencari kesepakatan mengenai bentuk rencana pengelolaan lahan kebun Kopi Ulu di masa yang akan datang.
Lokakarya ini dilaksanakan pada tanggal 19 Desember 2011 bertempat di aula kantor Nagari Paninggahan dan dihadiri sebanyak 35 orang peserta. Para peserta , yang merupakan perwakilan dari beberapa pihak terkait seperti ICRAF, Dinas Kehutanan Kabupaten Solok, Badan Perencanaan emerintaah Daerah (Bappeda) Solok, Camat, serta unsur perwakilan dari masyarakat Paninggahan. Pembicara pada lokakarya ini antara lain adalah Dinas Kehutanan Kabupaten Solok, Bappeda Kota Solok, dan ICRAF.
Beberapa komentar yang muncul selama seminar menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan adanya kepastian hukum agar status areal enclave perkebunan Kopi Ulu ini dapat dikembalikan menjadi milik masyarakat. Masyarakat juga meminta dukungan dari pemerintah untuk dapat melanjutkan program revitalisasi Kopi Ulu yang telah diinisiasi oleh ICRAF bersama masyarakat.
Masyarakat tentunya berharap dengan adanya kejelasan status kebun Kopi Ulu dapat mempermudah kegiatan revitalisasi dan bisa meningkatkan pendapatan rumah tangga disamping juga bisa menjaga keutuhan hutan yang berada di dalamnya.
Pada akhir acara, diperoleh beberapa kesimpulan, diantaranya terkait status lahan kebun Kopi Ulu yang sudah ada “tanda-tanda” akan dikembalikan kepada masyarakat Paninggahan. Namun, mengingat hingga saat ini penjabaran SK Menteri Kehutanan tersebut belum dikeluarkan oleh pemerintah daerah, maka masyarakat Paninggahan diminta untuk dapat bersabar menunggu sebelum mereka dapat mengelola kembali kawasan kebun Kopi Ulu tersebut. Selain itu, masyarakat Paninggahan dan ICRAF sebagai inisiator program revitalisasi Kopi Ulu mengharapkan program ini menjadi salah satu agenda kegiatan yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah setempat sebagai salah satu program kegiatan peningkatan perekonomian masyarakat.
Di masa mendatang, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani kopi maupun pendapatan pemerintah, pengembangan kopi organik (organic coffee) merupakan alternatif yang menjanjikan karena memiliki nilai jua yang baik dan luasnya pasar yang tersedia. Perkebunan Kopi Ulu dengan jenis kopi robusta di Nagari Paninggahan sangat potensial dikembangkan sebagai produsen kopi organik. Budidaya kopi tradisional oleh petani di bawah naungan pepohonan besar di kawasan hutan lindung tanpa menggunakan pupuk dan pestisida merupakan modal dasar yang sangat penting dalam pertanian organik. Namun demikian, program ini sangat memerlukan berbagai upaya dan dukungan dari segenap pihak terkait untuk dapat mewujudkan cita-cita tersebut. Kalau hal ini terjadi, impian untuk menyelaraskan antara peningkatan perekonomian masyarakat dan lingkungan hidup niscaya akan terwujud di Bumi Minangkabau ini di masa-masa mendatang. Let's Visit Paninggahan
Pesantren Terpadu Serambi Mekkah
Kota Padang Panjang Sumatera Barat
Menerima Santri/ Santriwati Baru
Tp. 2015/2016
Tingkat SMP-SMA-MA
Tlp PUSAT INFORMASI 0752 84169
web. www.pesantrenterpaduserambimekkah.sch.id
Panpage: Pesantren Terpadu Serambi Mekkah ( PTSM )
FB : Pesantren Terpadu Serambi Mekkah
Youtube : pesantren terpadu serambi mekkah
Source :
[1] Monografi Nagari Paninggahan, tanpa tahun
[2] Kantor Walinagari Paninggahan, tahun 2002
[3] Tanpa nama pengarang.,Rencana Umum Tata Ruang Ibukota Kecamatan Junjung Sirih Dengan Kedalaman Rencana Detail Tata Ruang Kota Paninggahan, Resume Laporan Fakta dan Analisa. (Pemerintah Kabupaten Solok Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 1999/2000). Hlm.IV-3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar