Minggu, 10 Mei 2015

KEADAAN SEBELUM TERJADI PERISTIWA ISRA DAN MI';RAJ

WAFAT NYA SAYYIDAH KHADIJAH R.A. & ABU THALIB

Suhefriandi

Siti Khadijah adalah putri Khuwailid bin As’ad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al-Qurasyiyah al-Asadiyah. Siti Khadijah dilahirkan di rumah yang mulia dan terhormat, pada tahun 68 sebelum hijrah. Khadijah tumbuh dalam lingkungan yang keluarga yang mulia, sehingga akhirnya setelah dewasa ia menjadi wanita yang cerdas, teguh, dan berperangai luhur. Karena itulah banyak laki-laki dari kaumnya yang menaruh simpati padanya. Syaikh Muhammad Husain Salamah menjelaskan bahwa Siti Khadijah, nasab dari jalur ayahnya bertemu dengan nasab Rasulullah pada kakeknya yang bernama Qushay. Dia menempati urutan kakek keempat bagi dirinya.

Pada tahun 575 Masehi, Siti Khadijah ditinggalkan ibunya. Sepuluh tahun kemudian ayahnya, Khuwailid, menyusul. Sepeninggal kedua orang tuanya, Khadijah dan saudara-saudaranya mewarisi kekayaannya. Kekayaan warisan menyimpan bahaya. Ia bisa menjadikan seseorang lebih senang tinggal di rumah dan hidup berfoya-foya. Bahaya ini sangat disadari Khadijah. Ia pun memutuskan untuk tidak menjadikan dirinya pengangguran. Kecerdasan dan kekuatan sikap yang dimiliki Khadijah mampu mengatasi godaan harta. Karenanya, Khadijah mengambil alih bisnis keluarga.

Pada mulanya, Siti Khadijah menikah dengan Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi. Pernikahan itu membuahkan dua orang anak yang bernama Halah dan Hindun. Tak lama kemudian suamianya meninggal dunia, dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, juga jaringan perniagaan yang luas dan berkembang. Lalu Siti Khadijah menikah lagi untuk yang kedua dengan Atiq bin ‘A’id bin Abdullah al-Makhzumi. Setelah pernikahan itu berjalan beberapa waktu, akhirnya suami keduanya pun meninggal dunia, yang juga meninggalkan harta dan perniagaan.

Dengan demikian, saat itu Siti Khadijah menjadi wanita terkaya di kalangan bangsa Quraisy. Karenanya, banyak pemuka dan bangsawan bangsa Quraisy yang melamarnya, mereka ingin menjadikan dirinya sebagai istri. Namun, Siti Khadijah menolak lamaran mereka dengan alas an bahwa perhatian Khadijah saat itu sedang tertuju hanya untuk mendidik anak-anaknya. Juga dimungkinkan karena, Khadijah merupakan saudagar kaya raya dan disegani sehingga ia sangat sibuk mengurus perniagaan.

Siti Khadijah mempunyai saudara sepupu yang bernama Waraqah bin Naufal. Beliau termasuk salah satu dari hanif  di Mekkah. Ia adalah sanak keluarga Khadijah yang tertua. Ia mengutuk bangsa Arab yang menyembah patung dan melakukan penyimpangan dari kepercayaan nenek moyang mereka (nabi Ibrahim dan Ismail).

Para sejawatnya mengakui keberhasilan Siti Khadijah, ketika itu mereka memanggilnya “Ratu Quraisy” dan “Ratu Mekkah”. Ia juga disebut sebagai at-Thahirah, yaitu “yang bersih dan suci”. Nama at-Thahirah itu diberikan oleh sesama bangsa Arab yang juga terkenal dengan kesombongan, keangkuhan, dan kebanggaannya sebagai laki-laki. Karenanya perilaku Khadijah benar-benar patut diteladani hingga ia menjadi terkenal di kalangan mereka.

Pertama kali dalam sejarah bangsa Arab, seorang wanita diberi panggilan Ratu Mekkah dan juga dijulukiat-Thahirah. Orang-orang memanggil Khadijah dengan Ratu Mekkah karena kekayaannya dan menyebut Khadijah dengan at-Thahirah karena reputasinya yang tanpa cacat.

Suatu ketika, Muhammad berkerja mengelola barang dagangan milik Siti Khadijah untuk dijual ke Syam bersama Maisyarah. Setibanya dari berdagang Maysarah menceritakan mengenai perjalanannya, mengenai keuntungan-keuntungannya, dan juga mengenai watak dan kepribadian Muhammad. Setelah mendengar dan melihat perangai manis, pekerti yang luhur, kejujuran, dan kemampuan yang dimiliki Muhammad, kian hari Khadijah semakin mengagumi sosok Muhammad. Selain kekaguman, muncul juga perasaan-perasaan cinta Khadijah kepada Muhammad.

Tibalah hari suci itu. Maka dengan maskawin 20 ekor unta muda, Muhammad menikah dengan Siti Khadijah pada tahun 595 Masehi. Pernikahan itu berlangsung diwakili oleh paman Khadijah, ‘Amr bin Asad. Sedangkan dari pihak keluarga Muhammad diwakili oleh Abu Thalib dan Hamzah. Ketika Menikah, Muhammad berusia 25 tahun, sedangkan Siti Khadijah berusia 40 tahun. Bagi keduanya, perbedaan usia yang terpaut cukup jauh dan harta kekayaan yang tidak sepadan di antara mereka, tidaklah menjadi masalah, karena mereka menikah dilandasi oleh cinta yang tulus, serta pengabdian kepada Allah. Dan, melalui pernikahan itu pula Allah telah memberikan keberkahan dan kemuliaan kepada mereka.

Dari pernikahan itu, Allah menganugerahi mereka dengan beberapa orang anak, maka dari rahim Siti Khadijah lahirlah enam orang anak keturunan Muhammad. Anak-anak itu terdiri dari dua orang laki-laki dan empat orang perempuan. Anak laki-laki mereka, al-Qasim dan dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib meninggal saat bayi. Kemudian, empat anak perempuannya adalah Zainab, Ruqayyah, Ummi Kulsum, dan Fatimah az-Zahra. Siti Khadijah mengasuh dan membimbing anak-anaknya dengan bijaksana, lembut, dan penuh kasih sayang, sehingga mereka pun setia dan hormat sekali kepada ibunya.

Setelah berakhirnya pemboikotan kaum Quraisy terhadap kaum muslim, Siti Khadijah sakit keras akibat beberapa tahun menderita kelaparan dan kehausan. Semakin hari kondisi kesehatan badannya semakin memburuk. Dalam sakit yang tidak terlalu lama, dalam usia 60 tahun, wafatlah seorang mujahidah suci yang sabar dan teguh imannya, Sayyidah Siti Khadijah al-Kubra binti Khuwailid.

Selepas Abu Thalib meninggal, berselang dua bulan — atau tiga hari kemudian (menurut pendapat ulama lain), wafatlah sang Ummul Mukminin, Khadijah binti Khuwailidradhiyallahu ‘anha. Peristiwa itu terjadi pada bulan Ramadhan, tahun kesepuluh masa kenabian. Kala itu, umur beliau mencapai 65 tahun – berdasarkan pendapat yang paling kuat – sedangkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam tengah berumur 50 tahun.

Sesungguhnya Khadijah merupakan salah satu karunia Allah yang paling berharga bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mendampingi beliau selama empat kurun ketika masa penuh kegelisahan melanda. Dia mengokohkan beliau pada saat yang sangat berat. Dia meyakinkan beliau sewaktu risalah datang. Dia membantunya menanggung beban jihad yang telah berlalu. Dia menolong dengan segenap jiwa dan hartanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

آمنت بى حين كفر بى الناس، وصدقتنى حين كذبني الناس، وأشركتنى في مالها حين حرمنى الناس، ورزقنى الله ولدها وحرم ولد غيرها

“Dia beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkariku. Dia membenarkanku ketika orang-orang  mendustakanku. Dia menyokongku dengan hartanya ketika orang-orang memboikotku. Dan Allah mengaruniakan anak bagiku dari (rahim)-nya. Padahal dengan (istri-istriku) yang lain, aku tak mendapatkannya.”(HR. Ahmad; hadits shahih)

Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Abu Hurairah. Dia berkata, “Jibril pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mengatakan, ‘Wahai Rasulullah! Ini, Khadijah telah datang. Dia membawa bejana berisi bumbu-bumbu, makanan, dan minuman. Jika dia mendatangimu, sampaikan kepadanya salam dari Rabb-nya. Kabarkan pula berita gembira tentang rumah di surga untuknya, yang berbenang emas dan perak, tanpa hiruk-pikuk maupun rasa letih di sana.'”

Siti Khadijah wafat dalam usia 65 tahun pada tanggal 10 Ramadhan tahun ke-10 kenabian, atau tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah atau 619 Masehi. Ketia itu, usia Rasulullah sekitar 50 tahun. Beliau dimakamkan di dataran tinggi Mekkah, yang dikenal dengan sebutan al-Hajun.

Karena itu, peristiwa wafatnya Siti Khadijah sangat menusuk jiwa Rasulullah. Alangkah sedih dan pedihnya perasaan Rasulullah ketika itu. Karena dua orang yang dicintainya (Khadijah dan Abu Thalib) telah wafat, maka tahun itu disebut sebagai ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah.

Paman Beliau Meninggal ( Abu Thalib )

Bermula dari kondisi paman beliau, Abu Thalib, yang semakin parah. Tak lama kemudian, ajalnya pun datang pada bulan Rajab tahun kesepuluh masa kenabian. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa Abu Thalib meninggal pada bulan Ramadhan, tiga hari sebelum wafatnya Khadijahradhiyallahu ‘anha.

Riwayat yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari, dari Ibnul Musayyib, menyatakan, “Sewaktu kematian semakin mendekati Abu Thalib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjumpainya. Pada waktu itu, ada Abu Jahal di sisi Abu Thalib.

Rasulullah berkata, ‘Wahai Paman, ucapkanlah la ilaha illallah; sepotong kalimat yang menjadi hujjah bagimu di hadapan Allah kelak.’

Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah angkat bicara, ‘Wahai Abu Thalib! Apakah kamu ingin keluar dari ajaran Abdul Muthalib?’

Mereka berdua terus berkata demikian hingga akhir hidup Abu Thalib berada di atas ajaran Abdul Muthalib.’

Mendengar ucapan terakhir paman beliau, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu selama itu tak terlarang.’

Oleh sebab perkataan Rasulullah ini, turunlah ayat,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُواْ أُوْلِي قُرْبَى مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

‘Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.’ (QS. At-Taubah:113)

Diturunkan pula ayat,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ

‘Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi ….'” (QS. Al-Qashash: 5)

Tak perlu lagi dijelaskan tentang perlindungan dan pembelaan Abu Thalib atas diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia menjadikan dirinya perisai yang melindungi dakwah Islam dari serangan orang-orang Quraisy, baik dari pembesarnya maupun rakyat kecilnya. Kendati demikian, Abu Thalib mengakhiri hayatnya di atas agama nenek moyangnya. Duhai … sungguh dia merugi!

Dalam Shahih Bukhari dan Muslim (Muttafaqun ‘alaih), yang diriwayatkan dari  Al-Abbas bin Abdul Muthalib. Dia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau sudah cukup dengan keberadaan pamanmu! Dia melindungimu. Dia marah demi engkau.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia berada dalam kobaran api neraka. Andai bukan dengan sebab aku, sungguh dia sudah berada di lapisan neraka yang paling bawah.”

Dari Abu Sa’id Al-Khudri; dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara, lalu nama paman beliau (Abu Thalib) disebut-sebut saat itu. Karenanya, beliaushallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Mudah-mudahan syafaatku bermanfaat baginya pada hari kiamat. Itu akan membuat kobaran api neraka (sekadar) mencapai kedua tumitnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tumpukan kedukaan

Telah terjadi dua peristiwa menyedihkan di antara hari-hari yang berganti. Hingga tercampur-aduklah semua duka lara di hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Belum lagi musibah yang beliau dapatkan dari kaumnya. Mereka menjadi lancang dan berani terang-terangan menyiksa beliau sepeninggal Abu Thalib.

Duhai, kegelisahan semakin bertambah-tambah. Sampai beliau pun patah arang untuk mendakwahi kaum kafir Quraisy. Akhirnya beliaus hallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan keluar dari Makkah menuju Thaif. Harap beliau, penduduk Thaif akan menerima dakwah Islam. Atau setidaknya mereka menolong beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadapi penolakan kaumnya. Alih-alih mengulurkan bantuan, penduduk Thaif malah mendera Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dengan begitu dahasyatnya! Bahkan dengan siksaan yang tak pernah ditimpakan oleh kaum Quraisy sekali pun.

Penduduk Makkah yang kafir semakin gencar menghimpit Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula terhadap para shahabat beliau. Sampai-sampai, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhumendesak Rasulullah untuk berhijrah keluar Makkah. Karena itulah, mereka akhirnya keluar dari Makkah sehingga mereka berjumpa dengan sekumpulan unta yang hendak menuju ke Habasyah. Kemudian Ibnu Ad-Dughunnah mengembalikannya di sisinya.

Tumpukan kedukaan yang bertubi-tubi menimpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini membuat tahun tersebut disebut sebagai “tahun duka cita” (‘amul hazn). Istilah ini sudah dikenal dalam pelajaran sirah dan tarikh.

Sumber Asli:

Syeikh Najmuddin Al-Ghaitiy, menyingkap rahasia ISRA'- MI'RAJ Rasulullah SAW

Arief, Nurhaeni. Engkau Bidadari Para Penghuni Surga, Kisah Teladan Wanita Saleha. Kafila: Yogyakarta: 2008

Taman, Muslich. Pesona Dua Ummul Mukminin, Teladan Terbaik Menjadi Wanita Sukses dan Mulia. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta. 2008

Razwy, Syeda. A. Khadijah, The Greatest of First Lady of Islam. Alawiyah Abdurrahman (terj.). Mizan Publika: Jakarta. 2007


Tidak ada komentar:

Posting Komentar