Kamis, 12 Maret 2015

" RASULULLAH SAW ADALAH USWATUN HASANAH "

Oleh : Suhefriandi

     Ayahnda,ibunda yang memliki putra dan putri, sudahkah ayahnda, ibunda mengajarkan pada anak anak ayahnda,ibunda tentang keteladan Rasulullah SAW pada mereka, sudahkah ayahnda, ibunda mengajarkan Pada anak anak ayahnda, bunda tentang Rasulullah sebagai Uswatun Hasanah...

    Rasulullah SAW adalah Uswatun Hasanah
KETELADANAN Uswatun Hasanah

SURITAULADAN Rasulullah saw.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

MENGHIDUPKAN SUNNAH
[QS. Al-Ahzaab: 21]

Ayat yang agung di atas, di setiap bulan Rabi’ul Awwal, biasanya menjadi ayat yang paling sering terdengar dari corong-corong masjid. Tentu saja melalui mimbar-mimbar ceramah maulid. Para penceramah maulid juga tidak pernah lupa mengingatkan makna inti yang terkandung dalam ayat tersebut, bahwa kita sebagai ummat Muhammad wajib untuk menjadikan beliau sebagai panutan dan ikutan dalam mengamalkan agama. Belakangan, mencuat sebuah pertanyaan, sudahkah makna inti ayat tersebut terealisasi pada diri dan masyarakat muslim kita? Dan apakah kita telah memahami hakikat “uswatun hasanah” yang diinginkan oleh ayat tersebut?

Ulama tafsir mengaitkan turunnya ayat di atas secara khusus dengan peristiwa perang Khandaq yang sangat memberatkan kaum muslimin saat itu. Nabi dan para Sahabat benar-benar dalam keadaan susah dan lapar, sampai-sampai para Sahabat mengganjal perut dengan batu demi menahan perihnya rasa lapar. Mereka pun berkeluh kesah kepada Nabi. Adapun Nabi, benar-benar beliau adalah suri teladan dalam hal kesabaran ketika itu. Nabi bahkan mengganjal perutnya dengan dua buah batu, namun justru paling gigih dan sabar. Kesabaran Nabi dan perjuangan beliau tanpa sedikitpun berkeluh kesah dalam kisah Khandaq, diabadikan oleh ayat di atas sebagai bentuk suri teladan yang sepatutnya diikuti oleh ummatnya. Sekali lagi ini adalah penafsiran yang bersifat khusus dari ayat tersebut, jika ditilik dari peristiwa yang melatar belakanginya. [lihat Tafsir al-Qurthubi: 14/138-139]

Adapun jika dikaji secara lebih mendalam, ayat di atas -di mata para ulama- merupakan dalil bahwasanya teladan Nabi berupa perbuatan dan tindak tanduk beliau bisa menjadi landasan atau dalil dalam menetapkan suatu perkara, karena tidak ada yang dicontohkan oleh Nabi kepada ummatnya melainkan contoh yang terbaik. Hal ini dijelaskan oleh Imam ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’adi dalam kitab tafsirnya yang terkenal, Tafsir Kariimir Rahmaan. Beliau berkata (hal. 726 Cet. Darul Hadits):

“Para ulama ushul berdalil dengan ayat ini tentang ber-hujjah (berargumen) menggunakan perbuatan-perbuatan Nabi. (Karena) pada asalnya, ummat beliau wajib menjadikan beliau sebagai suri teladan dalam perkara hukum, kecuali ada dalil syar’i yang mengkhususkan (bahwa suatu perbuatan Nabi hanya khusus untuk beliau saja secara hukum, tidak untuk ummatnya).”

Nabi kita adalah manusia yang terbaik di segala sisi dan segi. Di setiap lini kehidupan, beliau selalu nomor satu dan paling pantas dijadikan profil percontohan untuk urusan agama dan kebaikan. Sehingga tidak heran jika Allah mewajibkan kita untuk taat mengikuti beliau serta melarang kita untuk durhaka kepadanya dalam banyak ayat al-Qur-an, di antaranya firman Allah (artinya): “…Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.” [QS. An-Nisaa: 13]

Rasulullah juga pernah bersabda:

كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَـى، فَقِيْلَ: وَمَنْ يَأْبَى يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى

“Setiap ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan. (Lalu) dikatakan kepada beliau: ‘Siapa yang enggan itu wahai Rasulullah ?’ Maka beliau menjawab: ‘Barangsiapa mentaati aku ia pasti masuk surga, dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka ia enggan (masuk surga).” [Shahih Bukhari: 7280]

Makna Uswatun Hasanah

Kita sering terperangkap dalam pola prinsip yang keliru dalam memaknai hakikat uswatun hasanah yang ada pada diri Rasulullah . Tidak sedikit di antara kita mengkerdilkan makna sifat uswah (keteladanan) Nabi hanya terbatas pada masalah-masalah akhlak, sunnah-sunnah dan ritual ibadah yang dikerjakan oleh Nabi saja. Padahal, syari’at juga menuntut kita untuk meninggalkan -atau tidak mengerjakan- segala sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Nabi dalam urusan agama ini. Inilah makna uswah yang lebih sempurna, mencakup sunnah fi’liyyah dan juga sunnah tarkiyyah.

Sunnah fi’liyyah adalah sunnah yang dikerjakan atau dicontohkan oleh Nabi. Dalam hal ini kita pun disunnahkan -bahkan bisa wajib- untuk mengerjakan persis seperti apa yang dikerjakan oleh beliau sebatas kemampuan kita.

Adapun pada sunnah tarkiyyah, kita dituntut untuk meninggalkan suatu bentuk ritual dikarenakan ritual tersebut ditinggalkan atau tidak dikerjakan oleh Nabi di masanya, padahal sangat memungkinkan untuk dikerjakan di masa beliau. Contohnya adalah kumandang adzan saat solat ‘Ied, adzan solat istisqo’ (minta hujan), dan adzan untuk jenazah. Ini semua ditinggalkan atau tidak dikerjakan oleh Nabi, maka bagi kita ummatnya, meninggalkan ritual-ritual (seperti adzan yang tidak pada tempatnya) tersebut juga termasuk sunnah –yang sifatnya wajib-, yang disebut sebagai sunnah tarkiyyah.

Akhlaqul Karimah

Rasulullah SAW adalah Uswatun Khasanah, yaitu teladan bagi setiap manusia yang hidup di dunia. Sebagai umatnya kita disunahkan untuk mengambil dan mencontoh keteladanan beliau. Namun dalam kebanyakan kajian sering orang mengartikan dan memaknainya secara sempit. Mereka menganjurkan kita untuk mengamalkan sunah-sunah Rasulullah SAW, tanpa menekankan bahwa Rasulullah itu adalah suri tauladan dan apabila kita ingin mengambil atau melaksanakan keteladanan beliau maka kita pun semestinya harus menjadi teladan bagi orang lain, sesuai dengan kemamuan dan kapasitas kita masing-masing.

Dalam komunitas yang kita bangun sudah seharusnyalah kita bisa saling meneladani atau menjadi teladan satu sarna lain dalam arti kebaikan dan menjadi kesatuan masyarakat kecil yang bisa menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat. Mudah-mudahan apa yang kita cita-citakan dapat kita raih dan diridloi oleh Allah SWT.

Di dalam Al Qur’an telah diterangkan bahwa Muhammad SAW adalah contoh yang paling baik bagi umat manusia yang menghendaki perjumpaan dengan Allah ketika kita masih hidup di atas dunia. Hal ini sesuai dengan firman Allah ;

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan menemui Allah dan Hari Akhir dan mengingat Allah sebanyak-banyak” (QS Al Ahzab 33 : 21).

Sebagian ahli tafsir, banyak yang menterjemahkan ayat tersebut dengan iftiro atau menambah-nambahkan ayat tersebut dengan kata “mengharapkan rahmat Allah”, padahal bunyi sebenarnya adalah “Laqod kaana lakum fii Rasulillahi uswatu hasanatun liman kaana yaarjullohu walyaumil akhirawadzakarooloha kasyiron”.

Dalam ayat tersebut terdapat kata “yarjulloha” yang berarti mengharap Allah. Jadi bukan mengharapkan rahmat Allah atau mengharapkan ridha Allah, atau mengharapkan pahala Allah, atau mengharapkan rezeki Allah, tetapi yang benar adalah mengharapkan Allah semata. Bahkan kalau boleh dipertegas lagi ayat tersebut bermakna : “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang paling baik bai kamu, yaitu bagi orang yang mengharapkan menemui Allah dan hari akhir dan banyak mengingat Allah”. Berdasarkan ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah adalah contoh yang paling baik bagi umat manusia yang ingin mengharapkan bertemu dengan Allah di dunia ini, dan juga bertemu dengan hari akhir, agar kita dapat mengingat Allah sebanyak-banyaknya. Sebab mustahil kita dapat mengingat Allah apabila kita belum pernah bertemu dan melihat Allah.

Muhammad secara batiniah adalah suatu anasir Yang Bersifat Terpuji, yang telah dimiliki oleh setiap manusia tanpa kecuali. Tetapi yang sangat disayangkan adalah bahwa tidak semua umat manusia yang menyadari keberadaan anasir tersebut, apalagi menumbuhkannya dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga tidaklah mengherankan apabila banyak orang yang mengaku umat Muhammad atau umat yang sangat terpuji, justru banyak melakukan perbuatan tercela. Hal ini diakibatkan karena mereka belum dapat meneyerap Muhammad dalam arti nilai-nilai keterpujian, di setiap aktivitas hidupnya dalam bermasyarakat. Padahal setiap harinya mereka selalu mengatakan : “Aku telah menyaksikan bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan aku telah menyaksikan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah”. Kalimat Syahadat tersebut mempunyai makna yang sangat dalam sekali, yaitu saksinya seorang pesaksi yang menyaksikan kepada siapa dia bersaksi. Secara hakikat, makna simbolis dari “wa asyhadu an la Muhammad Rasulullah” adalah sebuah pengakuan bahwa setiap diri telah ditempati oleh anasir Terpuji yaitu Nur Muhammad, yang harus diimani dan diikuti sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an dan juga sabda Nabi Muhammad SAW :

“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya di dalam dirimu ada Rasulullah …” (QS Al Hujurot 49 : 7).

Katakanlah : “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” QS Ali Imran 3 : 31).

“Muhammad itu sekali-kalilah bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup Nabi-Nabi. Dan sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segalanya” (QS Al Ahzab 33 : 40).

“Orang-orang yang telah kami beri Al Kitab, mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahuinya” (QS Al Baqarah 2 : 146).

Semoga bermanfaat
Pesantren TerpadubSerambi Mekkah
Menerima Santri/santriwati baru
Tp. 2015/2016
SMP-SMA-MA
hubungi pusat informasi kami 0752 ( 48169 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar