Selasa, 17 Maret 2015

" SYUKUR DAN SABAR SEBAGAI BAHAN BAKAR MOTIVASI DIRI "

Syukur dan Sabar sebagai “Bahan Bakar” Motivasi Diri

         “Urusan orang mukmin itu sungguh mengagumkan, semua hal baik baginya, dan itu hanya terjadi pada orang yang beriman. Jika memperoleh kesenangan dia bersyukur dan itu baik baginya, dan jika ditimpa kesusahan dia bersabar dan itu baik baginya.” (HR Bukhari dan Muslim)

         Seorang ibu setengah baya yang masih terlihat cantik, kaya raya—karena punya banyak perusahaan, tokoh masyarakat yang sukses, punya suami dan anak-anak yang mencintainya, dan segudang status “prestasi” dunia lainnya sedang terbaring di sebuah rumah sakit kanker kelas satu. Dokter memvonis bahwa stadium sakit kankernya masih dini alias stadium penyakitnya masih rendah dan masih punya harapan sembuh. “Banyak-banyak berdoa dan bersabar semoga Allah swt. memberi kesembuhan pada Ibu,” begitu kata dokter spesialis kanker.

        Walau sudah dijelaskan penyakitnya masih dini, namun si ibu itu merasa dirinya tinggal “menghitung hari” alias menunggu pulang ke rahmatullah. Ia juga berpikir dirinya sudah tak bernilai apa-apa lagi karena beberapa hari lagi kanker itu merenggut nyawanya. Harta yang banyak yang selama ini dikumpulkan terasa sia-sia saja. Rasa kesal, marah, tidak menerima takdir Allah swt., menyalah-nyalahkan para dokter, dan lain-lain campur aduk menjadi satu. “Bagaimana mungkin aku harus cepat mati? Padahal aku belum puas menikmati hidup! Aku belum siap mati!” gumam si ibu terus-menerus.

        Selang beberapa hari, si ibu kini punya teman satu kamar, pasien kanker lainnya. Ternyata ia gadis cilik kira-kira seusia anaknya yang masih SMP. Ia datang dengan tubuh kurus dan wajah pucat, namun selalu murah senyum. Cara bicaranya selalu lembut, dan ia selalu berjilbab rapi. “Oh, kasihan sekali anak ini, masih kecil sudah kena kanker,” pikir si ibu.

      Lama-lama timbul keakraban di antara mereka. Mereka sering mengobrol. Sebenarnya si ibu sering kesal karena gadis cilik ini banyak bicara masalah agama Islam. Apalagi kalau sudah bicara tentang bersyukur, bersabar, optimis menghadapi hidup ini, ridha Allah, dan lain-lain membuat si ibu semakin mendongkol. Tapi itu tak berlangsung lama. Si ibu tak ngedumel sendirian lagi dan akhirnya menyukai setiap kata yang keluar dari mulut gadis cilik. Yang paling senang bila ia diceritakan tentang kondisi di luar rumah sakit bertingkat itu, karena kebetulan tempat tidur si gadis cilik dekat dengan jendela. Si gadis cilik biasa menceritakan kondisi luar rumah sakit seusai ia tilawah Al-Qur`an beberapa halaman.

“Banyak anak kecil bermain di taman di bawah sana, pohon-pohon indah menghijau, bunga-bunga berwarna-warni, burung-burung berkicau bersahut-sahutan, dan di bawah sana tak banyak kendaraan yang lewat,” cerita si gadis cillik pada si ibu itu setiap pagi.

         Tiga hari kemudian, di pagi hari, si ibu menanyakan kepada suster ke mana si gadis cilik itu. Apakah ia sudah sembuh, kemudian pulang? Suster dengan menarik napas dalam-dalam menjawab bahwa si gadis cilik itu sudah meninggal, karena penyakit kankernya parah sekali. Si ibu begitu sedih. Lalu ia kembali minta diceritakan kondisi indah di luar rumah sakit, tapi kali ini kepada suster. Suster juga dengan menarik napas dalam-dalam mengatakan bahwa sebenarnya di hadapan jendela tempat tidur almarhumah si gadis cilik tidak ada pemandangan yang indah. Yang ada hanyalah tembok kokoh bercat putih tanpa pemandangan sama sekali!

“Lantas, mengapa gadis itu bercerita kepada saya tentang lingkungan yang indah di bawah sana?” tanya si ibu penasaran. “Oh, itu karena dia ingin menghibur Anda, dan membuat Anda tidak putus asa menghadapi penyakit,” jelas si suster, “dia juga titip pesan ke saya, kalau dia minta maaf atas kesalahannya selama ini, dan pesannya juga bahwa jangan berat hati untuk bersabar dan bersyukur kepada Allah.”

Syukur dan Sabar

Mari kita perhatikan pendapat-pendapat berikut tentang syukur dan sabar agar kita mudah memasukan kedua hal itu dalam motivasi hidup dan manajemen diri kita sehari-hari.

“Sungguh, nikmat itu bersambung dengan rasa syukur dan rasa syukur itu dapat mempengaruhi penambahan nikmat. Keduanya beriringan dalam satu kurun, maka tidak akan terputus tambahan nikmat dari Allah hingga rasa syukur terputus dari seorang hamba.” (Ali bin Abi Thalib r.a.)

“Kesabaran itu ada dua macam: kesabaran terhadap sesuatu yang engkau benci dan kesabaran terhadap sesuatu yang engkau sukai.” (Ali bin Abi Thalib r.a.)

Memperkuat Motivasi

       Setiap orang apa pun agama, status sosial, dan latar belakangnya bisa saja mempunyai motivasi hidup yang “hebat”. Tapi, bagi setiap muslim ke-“hebat”-an sebuah motivasi harus mempunyai dua dimensi: dunia dan akhirat; memiliki ketinggian tujuan: ridha Allah swt.; hasil pekerjaannya nanti bermanfaat bagi orang lain; dan selaras dengan nilai-nilai keislaman lainnya yakni sesuai dengan nilai aqidah, ibadah, dan akhlak.

       Seperti dalam kisah dua orang pasien penderita kanker itu, ternyata si ibu kaya raya (pasien pertama) yang hidupnya lebih dari cukup, nikmat hidup lainnya yang cukup banyak, dan penyakitnya belum parah langsung menyikapi kondisi dirinya yang sakit bukan dengan nilai-nilai keislaman. Belum mau besyukur dan bersabar, menyalah-nyalahkan para dokter, serta tidak menerima takdir Allah swt. sangat jelas menunjukkan nilai-nilai keislamannya masih rapuh, belum memperkuat motivasi hidupnya.

       Sementara itu, si gadis cilik (pasien kedua) meskipun stadium penyakit kankernya sudah tinggi, hidupnya tinggal beberapa hari lagi, tidak kaya raya seperti si ibu itu, namun ternyata lebih mampu memahami dan menggunakan nilai-nilai keislaman untuk memperkuat motivasi hidupnya. Hidupnya menjadi optimis, bahkan mengajari orang lain untuk hidup optimis dan tidak putus asa.

       Syukur dan sabar sebagai bagian dari nilai-nilai keislaman memang secara nyata memperkuat motivasi hidup setiap muslim. Sungguh, hadits sahih di atas menunjukkan betapa orang-orang beriman piawai dalam urusan hidup mereka dengan “menggunakan” syukur dan sabar, sampai-sampai Rasulullah saw. terkagum-kagum dengan mereka. Karena itu, apa pun kondisi yang kita hadapi, senang ataupun susah, harus menjadikan syukur dan sabar sebagai “bahan bakar” motivasi hidup kita. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar