Jumat, 06 Maret 2015

PESANTREN TERPADU SERAMBI MEKKAH." SEJARAH DAN BUDAYA PENDIDIKAN DI MINANGKABAU."

Oleh : suhefriandi

Berdasarkan historis, budaya Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo, yang kemudian menyebar ke wilayah rantau di sisi barat, timur, utara dan selatan dari Luhak Nan Tigo. Saat ini wilayah budaya Minangkabau meliputi Sumatera Barat, bagian barat Riau (Kampar, Kuantan Singingi, Rokan Hulu), pesisir barat Sumatera Utara (Natal, Sorkam, Sibolga, dan Barus),
bagian barat Jambi (Kerinci, Bungo), bagian utara Bengkulu (Mukomuko), bagian barat daya Aceh (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Kabupaten Aceh Tenggara), hingga Negeri Sembilan di Malaysia.

Budaya Minangkabau pada mulanya bercorakkan budaya animisme dan Hindu-Budha. Kemudian sejak kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18, adat dan budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam dihapuskan. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik, mendesak Kaum Adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat Minang.

Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang Padri yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariat Islam. Kesepakatan tersebut tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai. (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran).

Sejak reformasi budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, selain surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak silat.

Daftar tokoh Sumatera Barat

Daftar tokoh Sumatera Barat ini hanya memuat nama tokoh-tokoh yang lahir di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Tokoh tersebut berasal dari etnis Minangkabau serta etnis lain yang lahir di Sumatera Barat dan berperan dalam kehidupan masyarakat. Khusus mengenai tokoh-tokoh dari etnis Minangkabau bisa dilihat di Daftar tokoh Minangkabau.

Daftar ini bukanlah suatu daftar yang statis, tapi akan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu sesuai perkembangan. Perangkat pemantau ini bisa digunakan untuk melihat perubahan terbaru dari artikel-artikel yang terkait dengan halaman ini. Jika pembaca melihat artikel tokoh di Wikipedia bahasa Indonesia yang semestinya masuk ke dalam daftar ini, silakan sunting halaman ini dan masukkan nama tokoh tersebut berikut keterangan dan pranalanya.

Tan Malaka, Mohammad Hatta, Sjahrir dan Assaat; empat tokoh Sumatera Barat yang berperan besar dalam pendirian negara Republik Indonesia.

Tuanku Imam Bonjol, Mohammad Natsir, Hamka dan Agus Salim; empat ulama besar dari Sumatera Barat pejuang anti-penjajahan.

Rasuna Said, Mohammad Yamin, Usmar Ismail dan Rosihan Anwar; empat pejuang Indonesia di berbagai bidang asal Sumatera Barat.

Awaluddin Djamin, Azwar Anas, Hasnan Habib dan Hasyim Ning; polisi, birokrat dan politisi, militer dan diplomat serta konglomerat Indonesia asal Sumatera Barat

Pada buku 101 orang minang dipentas sejarah karangan Hasril Chaniago.. dalam buku ini mengumpulkan ‘mutiara-mutiara’ Minangkabau yang terserak di berbagai tempat di Nusantara dan tempat-tempat lain yang lebih luas dari itu akibat budaya merantau. Sebagaimana terefleksi pada judulnya, buku ini mencatat 101 orang Minangkabau, yang sebagian besar gadang di rantau, yang telah mengukir sejarah dalam berbagai bidang pekerjaan, seperti negarawan, politisi/diplomat, ulama, tokoh adat, pendidik, birokrat, militer, ekonom/saudagar, ahli hukum, ahli perminyakan, ahli perbankan, ahli bahasa, budayawan (seniman, penari, sineas, sastrawan), wartawan, dan lain sebagainya.

Mereka (dalam urutan menurut daftar isi buku ini) adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Mohammad Natsir, Haji Agus Salim, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Muhammad Yamin, Hamka, Mahjoeddin Dt. Soetan Maharadja, Chairil Anwar (dan kemudian menurut abjad), Abdoel Raoef Soehoed, Abdul Halim, Abdul Karim Amrullah, Abdul Latief, Abdul Muis, Abdul Rivai, Abdullah Ahmad, Abu Hanifah, Adnan Kapau Gani, Adnil Hasnan Habib, Ahmad Husein, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, Ahmad Syafii Maarif, Aisyah Aminy, Ali Akbar Navis, Ani Idroes, Anwar St. Saidi, Asrul Sani, Assaat, Awaloeddin Djamin, Azwar Anas, Azyumardi Azra, Bachtiar Chamsyah, Bagindo Azischan, Baihaki Hakim, Bustanul Arifin, Chairul Saleh, Chatib Sulaiman, Datuak ri Bandang, Djamaluddin Adinegoro, Djamaludin Malik, Emil Salim, Eni Karim, Fahmi Idris, Gamawan Fauzi, Harun Zain, Hasan Basri Durin, Hasjim Djalal, Hasjim Ning, Hazairin, Huriah Adam, Ibrahim Muda Parabek, Iljas Jacoub, Imam Bondjol, Irman Gusman, Jahja Datoek Kajo, Jalaluddin Thaib, Kaharoeddin Dt. Rangkayo Basa, Karni Ilyas, Kemal Idris, Lukman Harun, Lukman Harun, Mahmud Junus, Mansoer Daoed Dt. Palimo Kayo, Marah Roesli, Marlis Rahman, Mohammad Djamil, Mohammad Sjafei, Muchlis Ibrahim, Muchtar Luthfi, Mufidah Miad Saad, Muhammad Alwi Dahlan, Muhammad Jamil Jambek, Muhammad Nasrun, Muhammad Saleh al-Minangkabawi, Rahmah el-Yunusiyah, Rais Abin, Rais Yatim, Rasuna Said, Roestam Effendi, Rohana Kudus, Rosihan Anwar, Saiful Sulun, Siti Manggopoh, Sjahrir, Sulaiman ar-Rasuli, Sutan Mohammad Rasjid, Sutan Muhammad Zain, Syahril Sabirin, Taher Marah Soetan, Tahir Jalaluddin, Tarmizi Taher, Taufik Abdullah, Taufiq Ismail, Taufiq Kiemas Dt. Basa Batuah, Tuanku Abdul Rahman, Usmar Ismail, Yusof bin Ishak, Zainal Abidin Ahmad, Zainal Bakar, Zakiah Darajat, dan Zubir Said.

Mestika Zed yang memberi kata pengantar untuk buku ini (hlm.xiii-xviii) telah memaparkan analisa dan kritik akademisnya terhadap pemilihan 101 nama yang dibiografiringkaskan pengarang dalam buku ini. Namun, seperti dijelaskan oleh Hasril dalam Prolog buku ini (hlm.1-20), tujuan buku ini adalah untuk memetakan keterwakilan etnis Minangkabau dalam lapangan politik, sosial, agama, ekonomi, dan budaya di panggung Indonesia khususnya dan dunia Melayu Nusantara pada umumnya. Angka 101 jelas lebih sebagai representatif, sebab jumlah orang Minangkabau yang sudah mengukir panggung sejarah melalui dunianya masing-masing di tingkat nasional ataupun regional dalam rentang waktu lebih kurang empat abad, seperti yang dijangkau oleh buku ini, jelas jauh lebih banyak lagi. Demikianlah umpamanya, buku ini tidak memasukkan biografi ringkas Syekh Burhanuddin, salah seorang tokoh Minangkabau yang justru dicatat oleh Tamar Djaja dalam Poesaka Indonesia: Orang-orang Besar Tanah Air (1940).

Namun, dari semula pengarang sudah menyadari bahwa mengenai pilihannya terhadap “101 nama dalam buku ini, tentu tidak semua orang akan sependapat”. (hlm.viii). Penulis mengatakan bahwa ia akan menulis Ensiklopedi Orang Minang yang memuat sekitar 200 entri lagi di luar nama-nama yang sudah ada dalam buku ini sebagai kelanjutan dari buku ini.

Bagi saya yang suka menulis artikel (baik untuk jurnal ilmiah maupun untuk media massa), buku seperti 101 Orang Minang di Pentas Sejarah ini sangat besar manfaatnya. Buku seperti ini tak ubahnya bagai katalog tempat kita dapat merujuk sesuatu dengan cepat dan mencari informasi-informasi baru mengenai tokoh-tokoh yang sedang kita telusuri. Demikianlah umpamanya, melalui buku ini kita baru tahu Yang Dipertuan Agong Malaysia yang pertama, Tuanku Abdul Rahman, yang wajahnya ternukil dalam salah satu seri Ringgit Malaysia, adalah seorang yang berdarah Minang. Demikian juga halnya Presiden pertama Republik Singapura, Yusof bin Ishak, yang wajahnya juga tertera dalam salah satu seri lembaran Dollar Singapura, dan pencipta lagu kebangsaan negeri pulau itu, Zubir Said, rupanya juga seorang yang berdarah Minangkabau.

Saya berharap Hasril Chaniago, atau orang lain, akan terus mengumpulkan biografi tokoh-tokoh Minang lainnya yang belum disebut dalam buku ini. Tidak saja mereka yang berkiprah di tingkat nasional dan internasional, mereka yang berkiprah di tingkat lokal juga mesti dicatat, seperti Dt. Batuah, Zalmon, Amran SN, dan Anas Malik - untuk sekedar menyebut contoh. Sebuah seri Who’s Who untuk konteks etnis Minangkabau, seperti dikatakan Mestika Zed (hlm.xiv), jelas akan sangat bermanfaat bagi dunia ilmu dan juga bagi generasi-generasi Minangkabau di masa mendatang.

* Resensi in diterbitkan di harian Singgalang, Minggu, 30 Desember 2012

Budaya dan pendidikan orang minang sangatlah unik.. ke unikan itulah yang menjadi kekayaan bangsa ini..

Pesantren terpadu serambi mekkah
Suhefriandi

1 komentar: