Jumat, 03 April 2015

" CINTA TANAH AIR : PERJUANGAN PENDIDIK DI SEKOLAH INDONESIA KOTA KINABALU ( SIKK ) "

Suhefriandi, Spd, MM
Pesantren Terpadu Serambi Mekkah

       Cinta Tanah Air Tercinta, Nusantara tercinta, Bangsa Indonesia Tercinta ini, harus lah di miliki oleh seluruh Rakyat Bangsa ini, Tampa memandang Kasta, golongan, daerah, tingkat usia, semuanya wajib mencintai Tanah Nusantra ini.. kalau semua rakyat sudah mencintai Bangsa yang besar ini, niscaya bangsa ini akan dapat terselamatkan, tidak hanya terselamatkan malahan bisa lebih cepat berkembang sejajar dengan bangsa bangsa yang sudah maju lain nya..

        Penulis memiliki dua orang adik kaki laki yang bertugas sebagai guru di perbatasan Indonesia Malaysia, bertugas sebagai guru SIKK ( Sekolah Indonesia kota Kinabalu ) ( Romi Fernandes, Sp.d & Ari Saputra, Sp.d ) dimana mereka dan para guru lain nya terus berjuang mencerdaskan Generasi generasi  Muda bangsa indonesia ini,. Pernah suatu hari penulis bertanya pada adik adik penulis, Apa yang membuat kalian berdua sangat semangat sekali mengajar disana, mereka bilang, agar mereka bisa mendapatkan pendidikan yang layak sebagai mana layak nya anak anak bangsa yang lain nya, walaupun kami harus berpisah dari anak dan istri untuk sementara, tetapi demi bangsa ini, demi generasi bangsa ini, biarlah kami rela berpisah sementara bersama keluarga, kami rela memberikan pendidikan memasuki hutan belantara perkebunan sawit demi menemui dan memberi pendidikan pada mereka yang berada di perbatasan tanah Air ini...

       Wahai para guru guru yang berada di perbatasan bangsa ini, kalian lah saat ini salah satu unsur penting dunia pendidikan dalam mengajarkan bagaimana bangsa indonesia ini menyemput dan memberikan pendidikan terhadap rakyat nya yang terjauh.. di tangan kalian lah mereka fasih berbahasa indonesia, di tangan kalian lah mereka bisa mengenal sistem bangsa ini, di tangan kalian lah mereka mengenal Pancasila, di tangan kalian lah mereka mengenal figur seorang guru yang tangguh, di tangan kalian lah mereka memahami lagu kebangsaan Indonesia Raya, di tangan kalian lah mereka memahami bhineka Tunggal Ika, Sumpah Pemuda bangsa.. dan di tangan kalian lah keutuhan NKRI ini tetap terjaga...

Marilah kita mengenal mereka, Sekolah Indonesia Kota kinabalu..

Tidak saja di dalam negeri, di luar negeri pun anak Indonesia terlantar, baik karena tidak bisa bersekolah, putus sekolah, atau malah buta huruf. Di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia, mereka yang terlantar pendidikannya saat ini lebih dari 53 ribu anak tenaga kerja Indonesia (TKI). Mereka berusia sampai dengan 17 tahun tersebar di wilayah-wilayah perkebunan kelapa sawit negeri itu.

Bahkan, anak Indonesia yang tinggal bersama orang tua mereka di kebun kelapa sawit dan tidak bersekolah itu, karena tidak terdata jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Mereka itu menunggu janji Pemerintah Indonesia yang akan memberikan layanan pendidikan bermutu bagi semua anak Indonesia di manapun berada.

Kepala Sekolah Indonesia Kota Kota Kinabalu (SIKK) Dadang Hermawan menyatakan, pendataan sulit dilakukan disebabkan oleh luasnya daerah yang ditempati, dan sulitnya komunikasi serta transportasi. Belum lagi anak-anak dari orang tua yang datang ke wilayah Malaysia itu banyak yang tidak melalui cara-cara resmi. Sementara, jarak terdekat ke pusat kota sekitar 90-an kilometer (Km).

“Anak yang tidak bersekolah sebanyak 53.000 orang itu yang tercatat, sementara mereka yang tidak tercatat jauh lebih banyak. Mereka berpencar di tengah-tengah ladang sawit,” kata Dadang Hermawan. Ironisnya, sebagian dari majikan mereka membiarkan anak-anak TKI ini terlantar pendidikannya dengan harapan, nanti anak-anak tersebut sebagai pengganti orang tua mereka yang tidak berpendidikan dan rela dibayar murah sebagai pekerja di kebun sawit.

Upah yang diterima TKI di perkebunan kelapa sawit di Sabah seperti diungkapkan Dadang, upah yang diterima oleh para TKI jauh dari layak. Mereka dibayar 14 Ringgit Malaysia (RM 14) hingga RM 16 per hari. Upah itu bisa lebih mencapai RM 20 (sekitar Rp 60 ribu) jika isteri dan anak mereka ikut membantu, misalnya menyebarkan pupuk. Pekerjaan TKI itu terdiri dari penebang sawit dengan tombak, supir truk, dan pembersih rumput.

Dadang Hermawan ditugaskan oleh Kemendiknas sebagai kepala sekolah ke areal perkebunan tempat TKI itu, beberapa tahun lalu. Namun, waktu itu sama sekali belum ada bangunan sekolah. Ia mengaku kebingungan dan tetap bersemangat bertugas karena ingat ingat bagaimana lolos seleksi untuk bertugas di Kinabalu.

Dia mulai bekerja sejak mendata murid, mencari tempat, dan berupaya untuk mendapatkan izin mendirikan sekolah dari pemerintah Malaysia. Semuanya dilaluinya dengan perjuangan yang tidak kenal lelah. Sementara Pemerintah Malaysia “setengah hati” memberikan izin untuk mendirikan sekolah bagi anak TKI. Pihak Malaysia sangat hati-hati untuk mengeluarkan izin secara tertulis, walaupun sudah ada perjanjian di tingkat pimpinan negara.

Karena itu, Pemerintah Malaysia memberi izin secara lisan saja untuk menbangun sekolah Indonesia atas alasan apabila sewaktu-waktu terjadi perubahan kebijakan, mereka mudah mencabut izinnya. “Ini membuat kita ketar-ketir dengan pendidikan anak TKI di Kinabalu,” ucap Dadang.

Meski demikian, dengan segala daya upaya SIKK bisa didirikan di sebuah ruko. Sampai sekarang, SIKK masih menempati ruko itu karena menunggu penyelesaian bangunan sekolah yang tengah dikerjakan.

Data sekolah itu mengungkapkan, saat ini terdapat 20 kelas siswa SD sampai SMP. Jumlah siswa satu kelasnya rata-rata di atas 30 orang, dan itupun ada beberapa anak yang tidak tertampung. Ada sebagaian yang terpaksa hanya belajar di hari Sabtu dan Minggu, antara Kelas 2 dan Kelas 3 digabung dan diajar oleh satu orang guru. Mereka yang belajar pada hanya Sabtu dan Minggu saja masuk program Paket A meskipun usia mereka adalah usia sekolah. Persoalan di daerah perkebunan lebih kompleks lagi. “Kita tidak mungkin mendirikan sekolah, di samping siswanya berpencar, juga sangat sulit mendapatkan izin, untuk itu kita melayani anak melalui Community Learning Centre (CLC), ada sekitar 90-an CLC,” jelas Dadang.

Menurut Dagang, masing-masing CLC dilayani oleh para tutor yang sudah dilatih khusus. Persoalannya, para tutor ini harus bekerja keras untuk mejangkau sasaran dan seringkali harus berjalan kaki berkilo-kilo meter atau naik truk terbuka untuk menuju daerah binaan.

Di CLC pun, seorang tutor harus siap melayani semua anak dengan berbagai usia dan tingkatan, serta mengajar semua mata pelajaran, termasuk mengajar mengaji untuk pendidikan agama. Secara keseluruhan, baru sekitar 1.800-an anak yang terlayani oleh CLC. Namun, di tengah-tengah keprihatinan pendidikan anak TKI itu, para guru dan tutor CLC ternyata harapan tetap ada. Terbukti, prestasi ditoreh sejak awal berdirinya SIKK. Antara lain, Juara 1 Tingkat Nasional Katagori Tatabusana (menjahit) tahun 2012, di tingkat Internasional Juara 3 lomba puisi sampai dengan tahun 2009, Juara 2 lomba menyanyi SD, Juara 1 katagori tari kreasi SMP Tahun 202 yang diikuti 15 negara yg memiliki Sekolah Indonesia Luar Negeri, Tahun 2013 juara Umum Porseni SD di Sabah.

Sukses menyelenggarakan Apresiasi dan Kreasi Seni, Olahraga dan Ilmu pengetahuan SMP se-Sabah diikuti oleh 400 peserta (tahun 2013 akan dilaksanakan yang ke-3). Persembahan dalam Harmoni Budaya Indonesia – Malaysia, Malam Budaya KJRI Kota Kinabalu, tahun 2013 dilibatkan dalam Porseni resmi Malaysia (satu-satunya sekolah Indonesia di luar negeri yang bisa ikut kegiatan internal negara setempat).

Namun, pendidikan anak TKI di Kinabalu dan luar negeri umumnya membutuhkan perhatian serius agar tidak selamanya mereka terpuruk.

Sekolah di Perbatasan untuk Anak TKI

Anak Indonesia yang mengenyam pendidikan di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK), Sabah, Malaysia itu bukan anak tertinggal. Ternyata mereka malah mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Malaysia setelah berpartisipasi dalam “8th Sabah International Folklore Festival (SIFF) 2013.”

Adalah Dwi Kristiyanto, guru seni SIKK melihat peluang emas agar anak-anak didiknya dapat turut serta mewakili Indonesia pada acara yang diselenggarakan rutin setiap tahun oleh Lembaga Kebudayaan Negeri Sabah (LKS). Kegiatan ini diikuti oleh beberapa negara. “Kami selalu ingin tampil terbaik, dan membuktikan bahwa anak-anak TKI juga bisa berprestasi,” kata dia.

Dalam kompetisi itu, setiap peserta diharuskan untuk mempersembahkan dua jenis tarian, yakni tari tradisi dan tari kreasi. Untuk kategori tari tradisi, para “laskar” remaja Indonesia ini mempersembahkan tarian dari Minangkabau Sumatera Barat yaitu Tari Piring. Sedangkan kategori tari kreasi, anak-anak SIKK yang menamakan dirinya Prabu (Prasasti Budaya) mengusung sebuah tarian Hyang Purnama, sebuah tarian yang menceritakan kisah anak-anak kecil masyarakat Jawa yang bermain-main saat bulan purnama untuk mencegah kedatangan Batarakala.

“Meskipun ini merupakan keikutsertaan mereka yang pertama tapi anak-anak SIKK mampu menjadi yang terbaik ke-3 di antara 20 grup yang ikut bertanding,” ungkap Dwi Kristiyanto, guru sekaligus koreografer Tim SIKK. Atas prestasi itu, sejumlah siswa diperkenankan untuk melanjutkan studi ke jenjang selanjutnya di Tanah Air. Bukan hanya itu, selain secara otomatis terdaftar di beberapa sekolah setingkat SMA yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, mereka pun mendapatkan beasiswa penuh untuk belajar selama tiga tahun.

Seorang anak, Sabry Herman yang di sela-sela waktu belajarnya bekerja menjadi kondektur bus umum mengaku senang mendapatkan kesempatan untuk memperoleh beasiswa dari Program Direktur Pembinaan SMP.

“Saya berterima kasih atas kesempatan ini, tidak terbayangkan sebelumnya saya dapat melanjutkan sekolah di Indonesia, apalagi sekarang saya diberi beasiswa,” ujar Sabry.Guru pengajar di sana pun terpacu menjadi guru karena melihat sekolah anak Indonesia di Kinabalu yang tertinggal. Mereka mengaku datang ke Kinabalu tidak tergiur oleh besarnya honor, tetapi lebih pada pengabdian dan demi memperjuangkan anak-anak bangsa yang terpaksa mengikuti orang tua mereka sebagai TKI di perkebunan di sana.

“Kita mesti bertanya, mengapa orang tua mereka rela bekerja kasar dan mau dibayar murah di negeri orang? Tentu, ada penyebabnya, ini mencerminkan betapa sulitnya hidup di negeri kita”, ungkap beberapa guru ketika kami diskusi tentang bagaimana meningkatkan kualitas pembelajaran di bagai anak-anak TKI beberapa waktu yang lalu. “Kami sangat berharap kepada Pemerintah Indonesia agar bersedia membangun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) unggulan berasrama di daerah perbatasan sehingga para alumni SMP SIKK dapat melanjutkan ke sekolah tersebut agar mereka bisa dikembalikan ke Indonesia. Sekolah tersebut diharapkan dapat menghasilkan tenaga-tenaga terampil dan terdidik, dan harapanya lagi, mereka ‘melirik’ untuk bekerja di Indonesia.

Di samping keterampilan teknis di bidang pertanian, mereka perlu dibekali dengan kemampuan kewirausahaan agar tidak tergiur lagi untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit seperti orang tua mereka”, papar Kepada Sekolah SIKK Dadang Hermawan. Jika tidak demikian, upaya yang telah mereka lakukan merintis SIKK selama ini akan mubazir, apalagi mereka terancam putus sekolah setelah tamat SMP. Walaupun pada tahun ini SIKK mulai membuka SMA, namun belum memberikan jaminan untuk memotivasi anak-anak TKI kembali ke Indonesia, atau setidaknya jika mereka terdidik, tidak lagi menjadi buruh kasar seperti orang tua mereka.

Dadang sendiri menyatakan kaget ketika membawa anak-anak TKI ikut lomba di Jakarta. “Mereka senang sekali naik pesawat, dan sampai di Jakarta, mereka berkomentar ‘wah senangnya pertama kali ke luar negeri’. Saya langsung bilang ini justri negeri kalian!.”

Jika kita berpegang pada ajaran agama tentang penciptaan manusia. Allah tidak mengenal produk gagal dalam menciptakan alam ini, apalagi manusia yang disebut sebagai makhluk yang sebaik-baiknya ciptaan Allah SWT. Allah berfirman bahwa setiap nyawa yang diberikan diperhitungkan dengan matang untuk apa seseorang dilahirkan.

Di mata Allah tidak ada manusia yang terlahir secara kebetulan, mereka diutus dengan dibekali sejumlah kekuatan posistif untuk mengubah corak kehidupan, dan ditundukkan alam raya kepada manusia untuk dikelola. Artinya, jika tidak terjadi sesuatu kesalahan mendasar dalam memberikan pelayanan pendidikan, tentunya 53 ribu lebih anak TKI itu menjadi potensi yang luar biasa, apalagi setiap anak adalah unik dan memiliki potensi yang berbeda. Mereka akan menjadi manusia-manusia penakluk kehidupan. Itu, jika pelayanan pendidikan berjalan dengan sebaik-baiknya.

Para guru, tutor dan didukung oleh orang tua telah membuktikan hal itu. Selanjutnya, Pemerintah perlu membuat kebijakan khusus dan pelayanan tanpa pilih kasih dan peningkatan kualitas pembelajaran sehingga anak-anak yang saat ini kurang beruntung karena harus ikut berjuang membanting tulang di negeri orang membantu orang tua mereka. Juga, memiliki kesempatan yang sama dengan saudara-saudara mereka di Tanah Air, berharap masa depan mereka yang lebih baik. (Sumber: Suara Karya, 23-24 Juli 2013)

Salam dari Pesantren Terpadu Serambi Mekkah untuk sahabat sahabat di ujung Nusantara Tercinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar