Kamis, 09 April 2015

" MENJADI GURU YANG DIRINDUKAN "

Esensi men­didik adalah mengangkat har­kat dan martabat murid, membuatnya berani bermimpi dan membuat hal besar” (Andrea Hirata-Laskar Pe­langi).

Tulisan ini dalam rangka mengapresiasi Hari Guru sebagai pahlawan yang ber­jasa besar dalam mengubah kehidupan manusia.

Secara fakta, setiap manu­sia dapat hidup sukses dan mampu melakukan hal besar tergantung karakter gurunya. Tentu bukan seorang guru yang biasa berdiri di depan muridnya sambil menjelaskan sesuatu, akan tetap sosok yang mampu menanamkan opti­mis­me dan membangkitkan intelektual multi-dimensi para peserta didiknya.

Sebuah riset yang dila­kukan S. Paul Wright, Sandra Horn,dan Wiliam Sanders (1997) terhadap 60 ribu siswa mengungkap, faktor paling penting yang berpengaruh secara langsung terhadap belajar murid adalah guru.

Artinya, bila ditemuti anak didik kurang bergairah bela­jar, siswa yang belum mampu mengembangkan potensi diri­nya, kemudian siswa yang bingung mengenali siapa dirinya, pertanyaannya siapa gurunya? Bagaimana gurunya mengelola kelas? Serta bagai­mana hubungan guru dengan muridnya.

Setiap anak manusia akan mampu mengembangkan ke­mam­puannya dengan sukses jika memperoleh bimbingan yang baik dari guru yang efektif. Guru yang mampu menjalin hubungan akrab dengan muridnya secara ber­martabat, kemudian mampu membangun tanggungjawab dalam diri anak didiknya.

Penelitian menunjukan, anak-anak yang rendah mate­matikanya, skor di bawah 50 persen, bisa meningkat pesat setelah dua tahun belajar di sekolah yang gurunya aktif dan efektif.  Sebaliknya, anak-anak yang belajar di sekolah biasa dengan kemampuan guru mengelola kelas yang rata-rata, banyak tidak me­ngalami perubahan apapun setelah dua tahun.

Dengan demikian, kehidu­pan anak didik ketika bersa­ma gurunya sangat berperan dalam mencetak kehidupan masyarakat ketika dewasa. Semakin baik kehidupan di kelas, kemudian mampu men­jadi budaya sekolah, merupa­kan simulasi masyarakat berpendidikan yang men­junjung dan mengindahkan peranan seorang guru.

Tentu ini bukanlah hal yang mudah layaknya mem­balikkan telapak tangan, apalagi dewasa ini banyak guru ‘duplikat’ yang mengajar karena tuntutan ekonomi. Guru yang lahir mengejar sertifikasi, sehingga ketika tidak mendapat apa yang dikejarnya, maka murid men­jadi korbannya.

Karakter Guru Idaman

Selain aktif dan efektif, guru mesti akrab dan bersa­habat (friendly). Namun, peran guru sebagai pendidik dan pembimbing yang ber­tugas memberi arahan tetap menjadi prioritas.

Maksudnya, ada garis tegas yang harus diperhatikan agar murid tetap memiliki tata krama yang baik. Harry K. Wong dan Rosemary T. Wong bahkan mengingatkan dalam bukunya yang berjudul “ how to be an effective teacher : the first days of school”, setiap guru harus akrab, peduli penuh cinta, dan sekaligus peka terhadap murid.

Catatannya, guru harus mampu menjalin hubungan yang bersahabat namun juga tidak membuat murid kehi­langan tata krama.

Artinya, menjadi guru efektif yang membuat setiap murid mampu meraih sukses, bukan hanya soal kompetensi. Guru memang harus mengua­sai bidang studi yang diajar­kan, bukan hanya menang semalam, yakni sekedar be­lajar lebih awal dari pada muridnya.

Guru harus juga tampil mengajar dan sangat mampu dalam bidang yang diajarkan, mampu menyampaikan de­ngan baik dan menerangkan secara komunikatif. Karena bila tidak, akan berakibat fatal dimana murid menga­lami kesulitan belajar, ter­belakang bahkan tersesat dalam doktrin guru.

Mereka menjadi bodoh bukan karena tidak memiliki potensi untuk menguasai pelajaran dengan baik, tetapi akibat guru yang gagal dalam menanamkan pemahaman pada muridnya.

Guru harus berusaha me­ningkatkan secara terus-menerus kualitas pribadi mereka. Baik berkaitan de­ngan motivasi, iman, akhlak.

Ini semua sangat penting untuk memastikan agar setiap murid mampu meraih sukses. Lebih-lebih untuk sekolah berlabel Islam yang telah menyatakan sikap bahwa agama ini yang menjadi ruh dari seluruh kegiatan yang ada disekolah, peningkatan kua­litas pribadi setiap guru tak dapat ditawar-tawar lagi.

Guru Juga Manusia

Rasa kecewa atau frustasi terhadap murid sangat mung­kin sekali muncul dalam diri setiap guru. Bagaimankah rasa frustasi tersebut dapat diubah menjadi perasaan yang lebih bahagia, punya banyak energi dan senang melihat murid belajar lebih banyak?

Berikut adalah jawaban yang diberikan oleh Spencer Johnson dan Constance John­son dalm bukunya “the one minutes teacher”, menyebut­kan, mengajar murid-murid untuk membantu mengajar dirinya sendiri adalah jawa­bannya. Pepatah bijak menga­takan, “Daripada  memberi seekor ikan kepada orang yang sedang lapar, jauh lebih baik mengajar orang itu mengail sendiri selanjutnya ia akan punya makanan sendiri se­panjang hidupnya.”

Berbagai tanggung jawab dan masalah yang dihadapi para guru merupakan tanta­ngan  tersendiri agar guru tetap profesional dalam melak­sanakan tugasnya. Tanggung jawab guru untuk menentukan masa depan para siswa dan merubah kehidupannya demi menyongsong masa tua yang gemilang.

Meski kehidupan guru itu sendiri tidak secemerlang cita-cita yang ditanamkan pada anak didiknya. Meski guru tersebut sangat rentan dengan permasalahan kehidupan seperti halnya manusia pada umumnya. Intinya, guru hebat harus mampu memilih dan memilah yang terbaik untuk masa depan muridnya sebagai penerus generasi bangsa.

Apabila setiap masuk kelas guru telah menunjukkan wajah suram atau marah, maka dapat dipastikan proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) akan berlansung dalam suasana yang menegangkan dan melelahkan, suasana demokratis akan  lenyap dengan sendirinya. Sebaliknya jika setiap guru memasuki ruang kelas dengan senyum keceriaan, maka para siswa akan bergairah untuk memu­lai proses pembelajaran.

Dengan kata lain, guru telah menjalin emosi antar dirinya dengan peserta didik sehingga komunikasi akan berlangsung sesuai yang di­inginkan. ***

Source : haluan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar