Kamis, 09 April 2015

" MENUMPAS BANI QURAISHAH ( PERANG AHZAB )

      Tikaman dan pengkhianatan Yahudi yang dirasakan kaum muslimin saat terkepung pasukan sekutu musyrikin, tak pelak menyulut api peperangan kembali. Untuk kesekian kalinya, kaum muslimin ‘dipaksa’ mengangkat pedang guna menumpas ‘duri dalam daging’ yang selama ini hidup damai dan tinggal dalam naungan serta lindungan Islam.

        Sa’d bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu
Beliau salah seorang tokoh shahabat Anshar yang terkemuka dan disegani. Termasuk orang-orang yang bersegera beriman sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat hijrah ke Madinah. Beliau selalu menyertai peperangan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang terakhir adalah peristiwa Khandaq dan menumpas Bani Quraizhah yang berkhianat.

Ibnu Ishaq meriwayatkan dalam Sirah-nya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang ketika itu berada dalam benteng Bani Haritsah, salah satu benteng kota Madinah. Waktu itu, ibu Sa’d bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu juga berada dalam benteng tersebut. Kata beliau: “Ketika itu sebelum diwajibkan hijab, Sa’d yang mengenakan baju besi melewati kami. Tapi baju besi itu tidak menutupi seluruh lengannya. Sa’d berjalan menggenggam sebilah tombak.”

Sebagaimana diceritakan, antara kaum muslimin dan orang-orang musyrikin hanya terjadi saling lempar dengan panah dan batu. ‘Aisyah berkata kepada ibu Sa’d bin Mu’adz: “ Demi Allah, saya ingin kalau bisa baju besi Sa’d lebih menutupi lagi, saya khawatir dia terkena tembakan panah.”

Terjadilah apa yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sa’d terkena sebatang panah yang dilepaskan oleh Ibnul ‘Araqah. Seusai melepaskan panahnya yang lantas mengenai Sa’d, dia berkata: “Makanlah olehmu, itu dari Ibnul ‘Araqah.”

Sa’d membalas: “ Semoga Allah benamkan wajahmu di neraka. Ya Allah, seandainya masih Engkau sisakan peperangan antara kami dengan (kafir) Quraisy, panjangkan umurku. Karena tidak ada kaum yang paling senang aku perangi daripada mereka yang telah menyakiti dan mengusir Rasul-Mu. Dan jika Engkau menghentikan peperangan antara kami dan mereka, jadikanlah aku sebagai syuhada dan jangan Engkau matikan aku sampai Engkau senangkan aku dengan (membalas) Bani Quraizhah.”

Sa’d terluka cukup parah dan dirawat di dalam sebuah tenda di Masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kehancuran Bani Quraizhah
Ternyata doa Sa’d dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Setelah kaum muslimin mendengar seruan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersiaplah mereka menuju perkampungan Bani Quraizhah.

Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada peristiwa Ahzab:

لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمُ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيْقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ

“Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan: “ Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak mencela salah satunya.”

Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu (dalam Al-Fath) setelah menerangkan sebagian isi hadits ini mengatakan:
“ Kesimpulan dari kisah ini ialah bahwa para shahabat ada yang memahami larangan ini berdasarkan hakikatnya. Mereka tidak memedulikan habisnya waktu sebagai penguat larangan yang kedua terhadap larangan pertama yaitu menunda shalat sampai akhir waktunya. Mereka menjadikan hadits ini sebagai dalil bolehnya menunda waktu shalat karena disibukkan oleh peperangan, sama halnya dengan kejadian pada masa itu, dalam peristiwa Khandaq. Juga telah disebutkan dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa mereka shalat ‘Ashar setelah matahari terbenam karena sibuk berperang… Yang lain memahaminya sebagai kiasan untuk mendorong mereka agar bersegera menuju Bani Quraizhah.

Dari hadits ini, jumhur mengambil kesimpulan tidak ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela salah satu dari dua kelompok shahabat tersebut.”

Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan (Zadul Ma’ad, 3/131):
“ Ahli fiqih berselisih pendapat, mana dari kedua kelompok ini yang benar. Satu kelompok menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang menundanya. Seandainya kita bersama mereka tentulah kita tunda seperti mereka menundanya. Dan kita tidak mengerjakan nya kecuali di perkampungan Bani Quraizhah karena mengikuti perintah beliau sekaligus meninggalkan takwilan yang bertentangan dengan dzahir hadits tersebut.

Yang lain mengatakan bahwa yang benar adalah yang melakukan shalat di jalan, pada waktunya. Mereka memperoleh dua keutamaan; bersegera mengerjakan perintah untuk berangkat menuju Bani Quraizhah dan segera menuju keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mendirikan shalat pada waktunya lalu menyusul rombongan. Maka mereka mendapat dua keutamaan; keutamaan jihad dan shalat pada waktunya… Sedangkan mereka yang mengakhirkan shalat ‘Ashar paling mungkin adalah mereka udzur, bahkan menerima satu pahala karena bersandar kepada dzahir dalil tersebut. Niat mereka hanyalah menjalankan perintah. Tapi untuk dikatakan bahwa mereka benar, sementara yang segera mengerjakan shalat dan berangkat jihad adalah salah, adalah tidak mungkin. Karena mereka yang shalat di jalan berarti mengumpul kan dua dalil. Mereka memperoleh dua keutamaan, sehingga menerima dua pahala. Yang lain juga menerima pahala.” Wallahu a’lam.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan bendera perang kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan mengangkat Ibnu Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu sebagai pengganti beliau di Madinah.

Akhirnya pasukan muslimin tiba di perbentengan Bani Quraizhah.

       Ibnu Katsir rahimahullahu menceritakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para shahabatnya, apakah ada seseorang yang melewati mereka? Para shahabat menjawab bahwa yang melewati mereka adalah Dihyah Al-Kalbi. Beliaupun mengatakan bahwa itu adalah Jibril yang menuju perkampungan Bani Quraizhah untuk menggoncang bumi yang mereka pijak dan melemparkan rasa takut ke dalam hati mereka. (As-Sirah, 3/226)

Akhirnya kaum muslimin mengepung kompleks benteng tersebut selama 25 malam. Setelah sekian lama pengepungan dan merasakan tekanan, pemimpin Bani Quraizhah, Ka’b bin Asad, berbicara kepada orang-orang Yahudi tersebut menawarkan tiga hal; mereka masuk Islam dan beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau membunuh anak cucu mereka lalu menyerang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin sampai menang atau mati; atau mereka langsung menyerang pada hari Sabtu karena mereka merasa aman untuk berperang pada hari itu.

Tetapi ketiga tawaran itu tidak satupun mereka terima. Akhirnya mereka meminta agar Abu Lubabah diizinkan masuk menemui mereka untuk bermusyawarah. Begitu melihatnya, mereka semua menangis di hadapan Abu Lubabah, kata mereka: “Wahai Abu Lubabah, apakah kami harus tunduk dengan keputusan Muhammad (Shallallahu ‘alaihi wa sallam)?”

Abu Lubabah menjawab: “Ya.” Lalu dia mengisyaratkan tangannya ke leher, yakni disembelih. Tapi kemudian, Abu Lubabah segera sadar bahwa dia telah mengkhianati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya maka diapun berlalu dari situ dan tidak datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai tiba di masjid Nabi di Madinah. Setelah itu dia mengikat dirinya di salah satu tiang masjid dan bersumpah tidak akan melepasnya kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang membebaskannya dengan tangan beliau, serta tidak akan pernah lagi memasuki kampung Bani Quraizhah selama-lamanya.

Berita itupun sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya-tanya mengapa Abu Lubabah terlambat menemui beliau? Setelah mendengar kisahnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa kalau dia datang menemui beliau tentulah akan dimintakan ampun untuknya. Tapi karena dia telah melakukan seperti itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan keputusan tentang taubatnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menerima taubat Abu Lubabah, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang melepaskannya.

Setelah berjalan beberapa hari dan semakin tertekan, akhirnya orang-orang Yahudi harus tunduk menerima keputusan hukum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beberapa tokoh Aus datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan: “Wahai Rasulullah, anda sudah memutuskan perkara Bani Qainuqa’ sebagaimana anda ketahui, dan mereka adalah sekutu saudara kami dari Khazraj. Sedangkan mereka ini (Bani Quraizhah) adalah mawali (sekutu kami), maka berbuat baiklah terhadap mereka.”

Beliaupun menjawab:
“Tidakkah kalian ridha kalau yang memutuskan perkara mereka ini adalah salah seorang dari kalangan kalian sendiri?”
Mereka berkata: “Tentu.”

Kata beliau pula: “Itu adalah hak Sa’d bin Mu’adz.”
Kata mereka: “Kami ridha.”
Lalu mereka menemui Sa’d yang ketika itu masih di Madinah karena luka panah yang dideritanya.

Setelah itu Sa’d dinaikkan ke atas seekor keledai untuk pergi menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mulailah tokoh-tokoh Aus membujuknya: “Wahai Sa’d, berbuat baiklah kepada mawali-mu. Karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengangkatmu sebagai hakim tentang urusan mereka, maka berbuat baiklah kepada mereka.”

Sa’d tetap diam dan tidak menanggapi perkataan mereka. Setelah mereka terus-menerus membujuknya, dia berkata: “Sungguh, sudah tiba waktunya bagi Sa’d untuk tidak takut celaan para pencela di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Mendengar jawaban Sa’d ini, sebagian mereka segera kembali ke Madinah lalu meratapi orang-orang Yahudi (akan nasib mereka).

Setelah Sa’d tiba di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata kepada para shahabat:

قُوْمُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ

“Berdirilah kepada sayyid (pemimpin) kalian.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)

Setelah mereka menurunkan Sa’d dari atas keledai, merekapun berkata: “Wahai Sa’d, sesungguhnya orang-orang ini tunduk kepada keputusanmu.” Sa’d balik bertanya: “Apakah keputusan hukumku berlaku atas orang-orang ini?”
Mereka (Aus) mengatakan: “Ya.”

Sa’d berkata pula: “Juga atas kaum muslimin?”
Mereka menjawab: “Ya.”

“Juga atas beliau yang ada di sini?” kata Sa’d pula sambil menghadapkan wajahnya memberi isyarat ke arah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan kepada beliau.
Mereka pun menjawab: “Ya.”

Kata Sa’d pula: “Juga atas diriku?”
Lalu Sa’d mengatakan: “Maka saya putuskan bahwa yang laki-laki semuanya dibunuh, anak cucu mereka dijadikan tawanan, dan harta mereka dibagi-bagi!”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan: “Sungguh, engkau telah menetapkan keputusan tentang mereka sesuai dengan hukum Allah dari tujuh lapis langit.”

Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dengan lafadz:
“Engkau sudah menetapkan keputusan atas mereka sesuai dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Lalu dibuatlah lubang-lubang parit di pasar Madinah, serta digiringlah mereka sebagian demi sebagian untuk menerima hukuman mati. Dan ini sangat pantas dilakukan terhadap mereka karena pengkhianatan mereka memang sangat berbahaya. Jumlah mereka yang dibunuh ketika itu adalah 600 sampai 700 orang laki-laki dan seorang perempuan Yahudi yang melemparkan batu gilingan ke arah Suwaid hingga membunuhnya.

Demikianlah watak Yahudi. Jangankan perjanjian mereka dengan sesama manusia yang mereka langgar dan mereka ingkari. Bahkan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ditetapkan atas mereka dengan sumpah dan janji yang beratpun mereka langgar.

Dan tentang kisah Yahudi ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan di dalam Al-Qur`an. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنْزَلَ الَّذِيْنَ ظَاهَرُوْهُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ صَيَاصِيْهِمْ وَقَذَفَ فِي قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ فَرِيْقًا تَقْتُلُوْنَ وَتَأْسِرُوْنَ فَرِيْقًا

“Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraizhah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan Dia memasukkan rasa takut dalam hati mereka. Sebagian mereka kamu bunuh dan sebagian yang lain kamu tawan.” (Al-Ahzab: 26)

Inilah salah satu yang melatarbelakangi dendam dan kedengkian bangsa Yahudi terhadap bangsa Arab dan kaum muslimin umumnya. Maka hendaknya ini menjadi pelajaran sekaligus peringatan bagi mereka yang terlalu memuja dan silau dengan “kemajuan” mereka.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لاَ يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا فِي الْبِلاَدِ. مَتَاعٌ قَلِيْلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ

“Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (Ali ‘Imran: 196-197)

Dan ingat pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيْرٍ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120)

(bersambung, insya Allah)
Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib
Sumber : http://www.asysyariah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar